Rabu, 30 Desember 2009

Bayang-Bayang Senja


Kali ini dia tidak datang saat malam
Tapi menyelinap diam-diam saat senja merekah di kaki langit
Hadirkan semburat jingga dan sepucuk pertanyaan tentang esok hari, apakah lagi yang akan terjadi?

Akankah tetap dinaungi oleh awan-awan putih yang menggantung-gantung, hindarkan semburat sinar panas yang menggersangkan?
Ataukah suatu hari akan kutinggalkan jalan ini sebab diri telah terlampau lelah tertatih, terjatuh, dan harus bangkit lagi?

Ada cerita tentang kau di sana
Yang mungkin akan menjadi penentu tentang hari esok yang entah bagaimana

Ada bayang-bayang senja yang datang saat kususuri jalan panjang menuju tempatku berpulang
Sambil terus berharap
Hadirnya adalah sebuah jalan
Sebuah uluran tangan yag layak bersambut
Sebuah cahaya yang menuntun
Saat terjaga segalanya hingga saatnya tiba

Hadirnya adalah sebuah jalan
Agar tetap bertahan
Agar tetap di sini.

Makassar, 30 Desember 2009


Selasa, 22 Desember 2009

Aku Suka


Aku suka

Disambut oleh pagi dengan desir angin dingin dan langit yang memang tak tampak cerah

Namun aku tetap yakin

Mentari itu masih ada di sana

Dibalik awan mendung yang menggelayut di kaki langit

Aku suka

Siang dengan hawa sejuk yang datang menerpa daun jendela

Sesekali memercik bulir bening dari sisa hujan deras di luar

Sementara atap-atap mengalirkannya dengan deras

Pun dengan jalan-jalan yang basah

Membuat terasa sejuk pada tiap telapak yang berlalu di atasnya

Aku suka

Kilat-kilat yang datang sesekali dan membuat langit malam gelap berubah layaknya siang dalam sesaat

Mungkin setelahnya akan ada guntur yang mengagetkan

Tapi cukuplah menjadi pengingat betapa kecil diri yang dapat kapan saja berakhir saat diterjang olehnya

Aku suka

Menikmati setiap percik hujan yang jatuh membasahi bumi

Mengingatkan kembali pada hari bahagia saat dipertemukannya tanah dan hujan dalam pernikahan mereka

Mengingatkan kembali tentang sebuah fragmen

Saat atap-atap bocor itu kita tampung airnya dengan gelas pelastik

Lalu kita keringkan lantainya dengan selembar kain

Lalu kita saling mendekap hangat

Memandang hujan dari sudut itu

Di sudut sebuah mushallah kecil

Beberapa masa yang lalu.

Karena hangat baru dapat terasa

setelah kita lalui dingin yang menusuk...

Saat hujan mengingatkan saya pada mushallah Al Iqra SMAGA dan semua akhwat yang pernah menebar senyuman di bawah atapnya. Miss u all!

Makassar, 20 Desember 2009

Rabu, 09 Desember 2009

Laki-Laki Pagi


Jangan lagi kau arahkan pandangmu
Atau kerlingkan matamu
Sebab hati ternyata teramat tipis
Untuk menangkah setiap detaknya yang semakin cepat
Entah oleh apa yang ia sebut rasa
Atau oleh bisikan menyesatkan yang sesaat saja

Makassar, 9 Desember 2009

Kau yang Tak Punya Apa-Apa


Nenek moyangmu bermula dari tanah liat yang kering
Letaknya pada bagian paling bawah
Terinjak-injak oleh kaki-kaki yang melangkah diatasnya

Asal mulamu dari air yang hina
Memancarnya pun atas kehendakNya
Tak menjadi apa-apa saat tak dijaga dalam dinding yang kokoh
Teramat mudah ia keluar sebelum waktunya
Teramat mudah ia terancam untuk kembali menjadi tiada

Lahirmu ke dunia adalah kesendirian sejak mulanya
Tak membawa apa-apa selain janji yang kelak tak bisa kau berpaling darinya
Serta suara tangis yang menunjukkan segala ketidakberdayaanmu tanpaNya

Lalu mengapa kau lalu berjalan di muka bumi dengan pongah
Kau tak lagi hiraukan tiap tanah yang kau tapaki adalah asalmu yang tak berpunya
Mata itu, yang kau banggakan ketajamannya adalah pinjaman
Kulit itu, yang kau pastikan kemulusannya pun bukan milikmu juga
Otak itu, yang kau pastikan kehebatannya juga dapat dengan mudah kehilangan semuanya
Lalu kau tetap berjalan dengan pongah
Tak peduli dengan setiap panggilan, sayup-sayup dari menara
Tak peduli pada setiap anjuran dari kitab suci
Tak peduli dengan semuanya sebab merasa telah berpunya!

Hey, kau yang tidak punya apa-apa!

Seperti datangmu yang tanpa sehelai benang
Kelak kembalimupun tanpa apa-apa
Mungkin hanya dengan selembar kain yang kelakpun akan termakan oleh hewan-hewan tanah
Kau kembali padanya, pada ibumu, pada bumi yang telah menunggu kembalimu
Entah seperti apa dia akan memelukmu
Apakah dengan lembut?
Ataukah dengan himpitan sebab dulu kau berjalan diatasnya dengan sesuka hatimu saja!

Hey, kau yang tak punya apa-apa!

Perhatikanlah bahwa tiap mentari terbenam
Tak pernah ia berjanji untuk kembali datang
Maka esok untukmu pun bukanlah niscaya
Lihatlah dirimu dari segala sisinya
Dan temukankan bahwa
Kau memang tak pernah punya apa-apa!

Makassar, 10 Desember 2009
Untuk semua orang yang senang berkata, ”Suka-suka gue dong!”

Sendiri


Dan jika waktu terus saja berlalu tanpa menunggu
Jenak-jenakknya menguntai tiap laku yang hanya terus menapak pada bumi saja
Lupa pada kebutuhannya di langit
Lupa pada hari dimana ditanyakanlah segala masa yang telah dieja dengan segala tingkah

Memejamkan mata di suatu hari karena dunia
Terbangunpun oleh dunia
Tertawa karena dunia
Menangis juga sebab tertinggal oleh roda-roda dunia yang tanpa sadar telah menghujam dan memekatkan ruang-ruang kalbu yang dulu sempat terisi oleh cahaya
Yang kini semakin pekat hitamnya oleh semua dosa
Dan sinarnya pun berganti kelam sebab memang mustahil mereka berkumpul pada tempat yang sama

Ia tergerus oleh waktu yang terus berlalu
Meninggalkannya sendiri tanpa pernah memberi ruang untuk merasakan kembali hening malam yang berlalu dengan tenang
Atau memaknai setiap langkah pada siang hanya untuk ibadah padaNya saja
Ia tidak lagi dapat merenungi tiap tetes hujan yang jatuh dengan caranya
Membasahi dan membersihkan tiap butir tanah yang telah lama merindukannya.

Lalu iapun memandang langit kelabu dengan setiap harap:
”Ijinkan aku nikmati hujan tanpa tergesa-gesa!”

Makassar, 10 Desember 2009

Minggu, 01 November 2009

Jumpa 2


Dan bila ia jenguk lagi suatu masa
Di tempat yang ia putuskan tak akan pernah lagi terjamah
Sebab mungkin hanya di sana mereka akan berjumpa

Tapi hidup ternyata adalah sebuah tanda tanya besar tentang detik selanjutnya
Terkadang mentari bersinar sangat cerah dan membangkitkan senyum siapa saja
Namun tiba-tiba hujan deras bisa bergemuruh saat langit biru berganti kelabu
Lalu senyum itupun segera luntur tanpa sisa di kedua sudut bibirnya.

Sebab hidup tidak sementara
Karena saat tubuh itu telah selesaikan waktunya
Jiwa tak hanya sampai di situ saja
Ia lalu akan menempuh perjalanan panjang
Menuju suatu liku hingga tiba pada tempatnya yang kekal

Sebab hidup tidak sementara untuk jiwa
Di seberang sana dua jiwa menyatu setelah menemukan rusuknya yang hilang
Di tempat lain keduanya berpisah oleh waktu, angan, ataupun oleh gundah yang sementara
Lalu di tempat yang terpisah dua jiwa masih terus bertanya
Tak bisakah lagi ia ke sana
Agar takdir mengantarkannya berjumpa?

Makassar, 1 November 2009

Senin, 26 Oktober 2009

Penyair Seorang Pujangga


Terdiam dalam sajak dan pekat malam
Mengais-ngais jejak rindu yang terburamkan oleh waktu
Sementara penyair tak juga sepi diantara hening
Sebab kata-kata telah ramai berucap dengan riuh
Tanpa suara
Tanpa titik akhir

Dan bila kiranya telah kau tengok ia pada pemilik yang lain
Maka tanyakanlah pada hati,
Pantaskah jika kau renggut kata-kata dengan polesan pada dirimu sendiri
Lalu terburu-buru menyebutnya sebagai goresmu
Sementara mereka terlampau polos dan menjadi tak lagi punya makna saat dirampas oleh pujangga yang lain

Olehnya kata-kata menulis diri
Ia lahir bukan hanya karena ujung pena yang tak kering-kering
Tapi sebab jiwa yang menggoreskannya pun selalu basah oleh tanya tentang hidup dan matinya
Bertanya tentang segala jejak yang disisakannya
Bertanya tentang hari esok, masih datangkah ia?

Sebab penyair seorang pujangga
Keduanya adalah ibunda
Anaknya adalah kata-kata

(makassar, 27 oktober 2009)
’Untuk semua pecinta kata’

Selasa, 20 Oktober 2009

Jika Cahayanya Menyilaukanmu



Tersebutlah cerita tentang sang surya
Lama kita mengenalnya, tapi tak cukup lama untuk saling menyatukan jiwa
Hingga kemudian ditakdirkanlah kita dalam sebuh perjumpaan penuh cahaya
Saat terasa angin syurga berhembus pada tamannya,
Atau pada pertemuan lain yang tidak kita kira

Selanjutnya waktupun berjalan dengan caranya
Hingga tanpa kita sangka, ternyata telah teramat fasih kusebut namamu dalam doa
Pun dengan wajah ceria yang melunturkan segala penat saat kutatap wajahmu pertamakalinya
Ya, mungkin karena ikatan yang kuat itu telah terbangun, dan bahkan melebihi ikatan antara mereka yang sedarah
Kau sebut aku ‘ukhti’ dan tak ada yang akan berubah dengannya, itu janji kita

Namun, jika memang bagimu aku adalah sang surya
Pun bagiku kau adalah matahari yang kedua
Maka ternyata kita tak dapat mengelakkan malam yang datang sehingga masing-masing cahaya kita harus berganti kelam,
Suatu saat,
Ketika prahara datang karena hati yang mungkin tak sejernih yang kita kira

Kadang cahaya yang kita bagi juga terlampau menyilaukan sehingga air mata itupun menetes dari kedua kornea yang kecewa kalbunya,
Suatu saat
Ketika lisan tak terjaga, dan syaithan meniupkan was-was agar ia dapat tersenyum sebab berhasil membuat dua jiwa jauh jaraknya

Maka saat kelam kau rasa
Atau saat cahayanya terlampau menyilaukan
Ingatlah kembali bahwa bukan karena apa-apa kita saling memupuk keinginan untuk menyempurnakan langkah hingga sampai tujuan
Bukan karena apa-apa, ukhti…
Kecuali karena Allah saja!

Mks, 21 Oktober 2009

Spesial buat Ukhti Haniyah…
‘ini puisi yang saya janjikan, dibacanya pake hati yah, sambil mengingat wajah saudarita satu per satu…, dan tersenyumlah!’

Jumat, 16 Oktober 2009

Sebab Aku Takut


Sebab aku takut bertemu denganMu dengan hati yang kelabu
Maka telah kucampakkan belati yang mengeras di dalam kalbu
Untuk kemudian kulupakan semua dendam itu
Pada suatu waktu saat aku begitu merasa malu padaMu

Kamis, 01 Oktober 2009

Teruntuk: Kakak, Sahabat, dan Ibu, Katamu.




Saat kau datang membawa pendar cahaya itu
Kutangkap dengan nafas yang berkejar-kejar diantara waktu
Mebalut tiap senti dari tubuh lalu merasuk ke hati hingga berubah warnyanya menjadi tak lagi kelabu

Kujalin pelan-pelan tiap benang cahaya yang kau beri
Agar suatu hari dapat kuguna mencipta jalan lurus yang selalu terdengung dalam tegak setelah takbir
Kadang kulepas kembali saat datang angin kencang yang menghujam
Namun kucoba kembali anyam saat kembali terbit mentari

Tapi ternyata tetap tak dapat kulupa taman syurga yang kau hampar tiap sore di sudut itu
Tak juga tentang perjalanan panjang yang kau tempuh untuk sebuah perjumpaan yang mungkin lebih singkat dari langkahmu menuju
Juga saat kau meyakinkanku betapa dekatnya Allah, kau kenalkanku pada Baginda Rasulullah, dan buatku terharu sebab dilahirkan dari rahim seorang muslimah


Tak akan bisa kulupa meski apapun yang terjadi padamu
Tak akan bisa kulupa meski apapun yang kau kenakan dulu kini tak di situ
Tapi, kak…
Mata itu tetaplah mata yang sama
Mata yang seolah berkata;
Betapa mahalnya harga hidayah Allah…

“ada sesak yang menyeruak, Kak.
Tapi masa lalu tak akan pernah berubah khan?
Ini aku, unta merahmu..”

(Makassar, 1 September 2009)

Senin, 27 Juli 2009

Sebelum Kita Bertemu


Wahai Rabb yang lembutnya melebihi kelembutan ibunda,
Ternyata masa telah antarkan diri hingga ke gerbang depan bulan itu
Cahaya telah benderang meski jarak masih cukup jauh
Wanginya pun telah semerbak walau diri belum tentu bertemu

Dari sini,
Kutatap langit yang seolah pun rindu dengannya
Pepohonan juga berayun manja dan merajuk pada angin, berharap kelak tak gugur sebelum ditatapnya rembulan yang membawa kabar
Kabar dari langit bahwa telah datang tamu yang mulia
Ramadhan, namanya.

Dari sini,
Kulihat diri yang telah kotor dengan segala sesal
Kupandang wajah yang telah lelah dengan segala tuntut dunia
Kumaknai umur yang telah berlalu dengan segala peluh
Sedangkan bekal teramat sedikit untuk perjalanan panjang
Dan tenggatnya pun tak pernah dapat terbayang
Mungkin besok atau lusa
Atau saat tak dapat lagi kulihat senyum sang surya sebab mata telah terpejam

Wahai Rabb yang menguasi hari,
Kapanpun saatnya tiba,
Moga saat itu aku telah berjumpa dengannya
Sekedar mengucap selamat tinggal dan terus berharap
Bahwa telah kurasakan sepertiga malamnya yang hangat
Kumaknai subuhnya yang hening
Dan kulewati harinya dengan kenikmatan saat kurasa diri yang begitu kering
Lalu kutemukan diri ini telah mendapatkan kenikmatan itu
Saat kubahasi lagi kerongkongan yang tandus
Dan saat aku berjumpa denganMu

(Makassar, 27 Juli 2009)
Ramadhan, moga kita bertemu.

Sabtu, 11 Juli 2009

Dalam Gelap


Kadang ada yang datang tiba-tiba
Bukan,
Bukan nyamuk yang ingin meminta sedekah sekedar setetes darah
Tapi seulas senyuman saat kita merasa sangat ingin meratap
Dan tawa saat dirasa sakit di dada
Berapa lama ia akan bertahan?

Dalam gelap ada yang datang menyelinap tiba-tiba
Lalu bertanya dengan jujur pada tiap sudutsudut di dada
Adakah ikhlas segala sujud yang ambruk ke tanah?
Ataukah ia hanya sekedar pembuktian untuk segala pinta yang selalu mengalir lewat lisan
Sementara hati terlalu sibuk untuk tafakkur sejenak pada pagi dan senja

Hidup terus bergulir diantara langit, bumi, dan pena
Kadang menyusup pula diam-diam lintingan harta yang buat kita mengantongi jiwa, atau sekedar menenteng hari akhir untuk kemudian bisa kita lepaskan kapan saja
Sementara di dada ini telah melekat lencana nomor urut antrian menuju rumah terakhir
Lihat!
Disana tertulis angka tujuh
Namun saat angka enam telah tiba masanya,
Ternyata kita masih saja sibuk menghitung dan tertawa-tawa
Kemudian lupa pada masa saat tangan dan kaki berkata
(makassar,11 Juli 2009)

Kamis, 25 Juni 2009

Malam Itu Tiba-Tiba (2)



Kata...,
Ini aku datang membawa hati yang paling biru
Lebam karena rindu.

Maka kupilih kalian yang paling tertutup
Tertutup oleh sejuta kunci-kunci yang masih malu mengungkap pada bumi
Perihal hati yang selalu saja terpaut
Kadang tiba-tiba manjadi ciut
Dan entah mengapa memberangus segala logika yang coba dibangun, dirajut setiap waktu

Mengapa banyangan malam selalu muncul dan buat kita merasa gelap meski siang telah tiba
Meski pagi datang dan kelam tetap tercipta?
Apakah karena ialah sesungguhnya dosa yang sudah seharusnya dimengerti adanya
Menertawakan ilmu yang hanya berakhir pada catatan
Tidak pula mengakar kuat dan menjadi apa yang mengejawantahkan tiap laku dan anggota tubuh

Ini aku datang membawa hati yang paling biru
Jika saja ia tidak pernah berkata tentang hari esok yang cerah oleh senyuman
Mungkin tak perlu ada titik-titik noda yang tercipta oleh tiap getaran yang menghanguskannya dan buatnya menjadi tak dapat pantulkan sinaran

Ini hati yang lebam karena rindu
Ah, tetap saja ia takut mengucap kata itu
Tapi ternyata telah menyusuplah ia pada bait ini sebab dusta memang pahit jika terus terpendam pada nurani
Sebab pada akhirnya itulah yang ia rasa pada dirinya sendiri
Sebab kadang ia menyesal telah menguntaikan doa dan menitipkannya pada awan di langit
Padahal ia telah terkabulkan dan telah tercoretlah kisah dengan ia sebagai pemeran utamanya

Kata...,
Ia tak ingin menyesal dengan itu semua
Ia hanya didera takut saat jumpa itu tiba
Dan terjadilah apa yang selama ini hanya menggantung pada lorong imajinya.
(makassar, 2 Rajab 1430)

--puisi ini bukan untuk dimengerti..., silakan berinterpretasi sendiri!---



Rabu, 24 Juni 2009

Lelaki Pertama



Karena aku pertamakali melihat cinta itu dimatamu
Lewat sayunya karena mungkin lelap yang singkat
Atau karena berbagai tempaan hidup yang hanya sedikit saja kau urai dalam kisah

Mereka bilang tentang dirimu yang kini diatas awan
Mereka melihat pencapaianmu kini hanya lewat mata
Tapi ceritamu adalah tentang perjuangan
Ceritamu adalah jarak berkilo yang kau tempuh
Dan tentang nasi basi yang disiram kembali dengan air panas agar dapat kembali disantap

Kau menangis suatu saat karena takutmu saat jompo tiba
Katamu, ”tak akan kau letakkan pula aku di rumah itu, khan?”
Kau terkadang tersenyum saat kusematkan bangga pada dadamu
Dan kaupun marah saat prahara tiba sedangkan kau telah teramat lelah
Suatu saat kau terjatuh dan tersalah dan buat segalanya terluka
Lalu maaf itu segera terucap dan masih terus kurajut untuk kau bawa dengan sempurna

Kau adalah manusia
Lelaki pertama dengan cinta dimatanya
Dengan sejuta kisah tentang perjuangan
Dan tentang potongan ikan yang kau makan sedikit-sedikit
Dan tentang segala khilaf yang terus kuhapus dari dada ini

Lelaki pertama dengan cinta dimatanya,
Kupanggil kau;
Ayah.
(makassar, 23 Juni 2009)

Senin, 22 Juni 2009

Jika Aku Pergi, Ukhti


Jika aku pergi
Jangan hilang tatap hangat yang dulu membuat tidurku lelap
Jangan hilang senyum merekah yang buatku berusaha bangkit di awal malam
Jangan hilang semua kenangan tentang perjalanan panjang tanpa batas tempat kita mengayun langkah
Jangan hilang semua janji bahwa kita harap berjumpa di pintu jannah
Lewat jalan apapun kita ke sana.
(makassar,12 Juni 2009)


buat semua akhwat FUM

"terimakasih untuk kebersamaan selama ini, maaf untuk segala kekurangan diri..."

Sabtu, 20 Juni 2009

Perempuan di Tiga Masa


1/3
Terjerat arus ketamakan hidup
Teruntai dalam tiap detik yang sisakan senyum paling pahit
Berderai pada kata takdir, antarkan pada masa, ciptakan tiap desah dengan kalimat nyata: pancangkan diri dalam derai waktu
Lalu memandang langit dan rindu pada buah hati yang tak kunjung datang menjenguk

2/3
Terbaring pada selimut kesabaran
Coba artikan tiap sakit yang ia harap telah jatuhkan daun ke buaian tanah, bergugurannya dosa-dosa
Mengayun-ayun kenangan pada masa saat raga masih dapat berdiri tegak
Lalu memandang langit dan rindu pada ibu yang jauh di sana

3/3
Melangkah pada tiap detak nafas
Merangkai tiap huruf dan menyimpannya sebagai kenang
Menyaksikan putaran skenario kehidupan yang telah tersusun dengan sempurna
Lalu memandang langit biru, kembali mengucap doa sejak sebelas tahun lalu, dan bertanya pada hati; mengapa tak ada rindu padamu?

Perempuan di tiga masa
Mengayun tiap peluh dengan makna yang berbeda
Namun ketiganya tetap sama saja
Mereka mencoba bertahan
Mereka mencoba bertahan.
(makassar,18 Juni 2009)

”Untuk nenek, ibu, dan aku.”

Kamis, 11 Juni 2009

Dia Mengenalmu



maka tak adalah lagi memang yang dapat menandingi maha karyaNya yang agung
saat tertempellah tiap ayat-ayat, mundur teratur tiap baris kata ciptaan makhluk
tertunduk takzim malu-malu
dia menempelkannya dengan penuh makna
anakku, dia mengenalmu.

mungkin ia berkenalan dengan mata hati
bukan hanya sekedar melintasinya lewat kornea dan memaknainya pada saraf-saraf yang sibuk
tapi ia belai dengan tiap desah jiwa
dan ia artikan di sudut-sudut kalbunya

maka didapatkannya makna yang sama dalam sastra tak tertandingkan
lalu ia tempelkan dan buatmu menjadi lebih berat dan lebih berharga
dia mengenalmu, Nak
dia mengenalmu. (09/06/09)

Sudah Lama Kita Tak Jumpa


bagaimana kabar lukisan yang engkau torehkan saat mentari terbenam?
adakah ia telah temukan maknanya meski tanpa lirikan mata yang buatmu nanti akan dikenakan tanya
karena telah kutinggalkan dunia imaji dengan segala keangkuhan diri
tak ingin lagi mencoba berbagi dan mengecap kenikmatan semu mencipta cerita yang tak pernah akan nyata

sudah lama kita tak jumpa
masih inginkah kau lihat luka yang dulu tertoreh di suatu malam
setahun sebelum kau ikuti derap langkah
dan terbitkan senyum dengan entah getar apa di dada

hingga kinipun tak kau tau tiap anak-anak yang lahir karena dirimu yang membingkaikan cerita
tak pula kau tau betapa tiap sinyal dari langit yang halangi tiap jumpa ini tak juga membuatnya lupa akan tiap harap tentang masa depan
entah kapan kau tahu betapa tak taunya ia pada masa saat benar-benar ia yakin bukan kau yang ia harap dalam tiap sujudnya.

ah..., dia semakin naif dan jujur sekarang.
mungkin, karena sudah lama kita tak jumpa.(09/06/09)

Sabtu, 30 Mei 2009

Puisi Kamar



Hening berkeliling mendering
Berbalut sepi di salah satu lorong imaji
Di sudut, seseorang menulis puisi
Pita merah mengikat di ujungnya, dengan janji, mengikat tiap hurufnya
Puisi kamar terikat dari hati
Kelak, diberi sebagai mahar saat pernikahan nanti
Puisi kamar tercipta dari angan
Besok, digantung di kaki langit untuk diraih suatu hari


Seseorang masih menulis puisi
Memberi titik pada akhirnya yang tak berakhir.

Saat Kita Jenguk Kembali Kata




Rasanya tetap sama kawan,
Saat kita jenguk kembali kata
Waktu ada jeda antara lelap dan saat kita pandang hari bersama mentarinya
Bukan saat kita lihat langit dengan pandang sedih
Sebab sekali lagi mungkin hanya bulan yang tersisa untuk kita
Saat melewati tiap langkah menuju rumah

Rasanya tetap sama,
Saat kita jenguk kembali kata
Dan membuainya dengan sajak-sajak
Dengan latar sajak paling indah yang kita percaya
Sajak dari Allah, Al Qur’an
Bukan karena kita baca ia dengan cepat-cepat sebab waktu tak berhenti tuk menanti
Tapi karena memang kita butuh padanya
Dan kita telah rindu pada cintaNya yang membuncah dari langitNya

Rasanya tetap sama,
Saat kita jenguk kembali kata
Dan berharap esok lebih banyak lagi waktu bersamanya
Waktu untuk saling mengingatkan lewat untai huruf
Waktu untuk saling menegur lewat baris-barisnya
Waktu untuk saling menyatakan cinta
Waktu untuk kembali memaknakan waktu yang tersisa
(18/03/09)

Selasa, 19 Mei 2009

Antara


Diantara malam hening dan detak jarum jam antara pukul tiga
Antara laporan biokim dan sintesis obat
Antara ayat-ayat al Anfal
Ada Tanya yang menyeruak tiba-tiba
Tentang masa depan bagaimanakah ia nantinya ?
Tentang indahnya kehidupan dengan scenario yang tidak terduga
Antara Tanya akan ada dan tiadanya
Angin malam rupanya telah berkata tentang pekat
Juga tentang air mata dari mata air yang menetes di atas sajadah
Sujud-sujud panjag para perindu syurga
Antara gelak tawa penikmat dunia
Diantara semuanya akan ada tanya
Untuk apakah kita dicipta ?

Jangan marah, ukhti...
Sebab rupanya mata telah terlelap oleh lelah
Dan bait-bait ini hanyalah sedikit ucap dari apa yang tak gerakkan lidah

Ukhtiku Cantik Sekali


---sudah lama sebenarnya jemari ingin menari
Namun rupanya baru kali ini ia dapat berpesta dengan kalahnya diri, ya, ia telah kembali


Tak peduli kusamnya wajah
Karena jalan yang kita tempuh ada cahaya di akhirnya
Nanti, itulah yang akan mencerahkan wajahmu yang sebenarnya, wajah yang ada di jiwa.
Tak peduli kunonya sandang
Sebab inilah pakaian terindah yang dipilihkan olehNya untukmu.
Inilah pakaian yang paling mulia, yang paling anggun yang sebenarnya
Tak peduli apapun mau dikata
Sebab apa yang kau punya
Memang yang paling indah
(16/10/08)

Ukhti, Ajari Aku Sepertimu




Malam meringkuk di disudut-sudutnya
Sisakan juga semburat renung di jiwa
Apa yang telah tercipta lewat sebaris waku yang terus berputar
Lewat berbagai macam jenak yang membentuk masa yang kini aku berada di dalamnya
Juga tiap mata yang memandang dan terdiam
Menganggap segalanya telah selesai dan segalanya baik-baik saja

Ukhti,
Ajari aku sepertimu
Mungkin di tiap malammu yang tegak
Mungkin di tiap pagimu yang tak alpa
Juga tiap senjamu yang tak seperti apa yang kupunya

Ukthti,
Sesungguhnya waktu telah berlalu begitu lama
Mencipta tiap adegan yang terlalui
Namun saat kita terdiam
Ternyata tak ada bekas di hati
Aku masih seperti ini.
(makassar, 15/10/08 jam 10.39)

Wasiat


Dik, jika nanti aku mati
Bukalah tiap lembar sajak untuk ingat pada kakakmu ini
Tak banyak memang yang dapat mengerti
Sebab sejak awal ia adalah seorang penyimpan rahasia abadi

Dik, jika nanti aku mati
Bunga-bunga mungkin tak banyak berganti
Sebab memang jarang kutengok mereka
Rumput di depan rumahpun begitu
Sebab mungkin pernah kuinjak mereka dengan angkuh
Pun dengan tiap makhlukNya yang jarang kusentuh

Dik, jika nanti aku mati
Sajak-sajak itu rupanya telah bercerita tentang diri
Belajarlah dari tiap untai kata yang cipta siluet-siluet kakakmu.
Sebab tanpa mereka mungkin telah lama nafasku tersengal
Dan hanya dapat memandang bulan sebagai malam
Dan mentari adalah siangnya.
(23 Ramadhan 1429)

Memandang Subuh


Memandang subuh dari balik jendela
Hening cipta ribuan kata hati yang terpaut tanya
Di banyak sudut yang tak terjamah oleh mata
Malaikat-malaikat menabur rahmat dari Tuhannya.

Ada dengkur yang tercipta di setiap ruang
Hari ini mungkin bukan kau yang di sana
Namun entah besok siapa nyana
Saat raga kembali lupa mengapa ia tercipta
Nampak angkuh dalam tiap hela nafas yang berat
Padahal ia berada dalam satu baris menunggu eksekusi maut

Memandang subuh dari dinding-dinding kamar
Terpaut oleh ayat-ayatNya yang mengalir lancar dari bibir
Mungkin juga dari hati
Yang kembali bertanya
Adakah ini ayat terakhir yang dapat terucap
Padahal aku kembali alpa, Tuhan.
Semalam terlelap dalam buai nafsu
Dan lupa pada janjiku bertemu denganMu
Padahal subuh kembali menjelang
Dan tak seorangpun bilang akan hidupku hingga petang

Subuh merembes di balik tirai
Beberapa saat menyapa untuk kemudian pergi entah kemana
Mungkin, ia akan kembali lagi esok
Tapi toh tak pernah ini ucap janji
Maka dipandanglah subuh itu kali ini
Mungkin saja ini adalah yang terakhir.
(23 Ramadhan 1429 H)

Di kamar tidur
Di akhir subuh

Sabtu, 16 Mei 2009

Saat Kau Pergi


;untuk Ibu Idayati, wali kelasku masa SMP

Apakah lagi yang harus terucap, ibu
Saat pelangi memainkan sajak suci di atas buramnya sebuah warna pada bening sungai di kala pekat
Dan kurasa sebuah bintang berhenti berkelip dari benderang yang dulu datang kau bawa
Ada yang hilang saat kau pergi, ibu.
Debu-debu di tanganmu
Dan potongan kapur tulis berserak di sudut celah-celah rindu
Cerita tentang lukisan hidup dan kisah yang pertama ajarkan kita
Pada setiap nafas yang berhembus
Dan mengalirnya darah dalam tiap pembuluh

Saat kau pergi ibu,
Anginpun berkata bahwa ia rasa sunyi tanpamu
Maka ceritakanlah barang sedikit saja, ibu
Adakah sakit rasanya saat datang tamu terakhir itu ?
Apakah lagi yang ditanya saat tapak-tapak kaki menjauh dan tinggallah kelam dan hening
Adakah telah kau tatap wajahNya dengan kedua matamu ?
Adakah kau telah tenang dan menunggu saatnya tiba, saat nanti kita kembali jumpa
Meski mungkin kita tak lagi saling menyapa

Mentari tersaput kelam saat pergimu, ibu.
Ia bercerita padaku tentang mendung karena pisah denganmu.



Ibu Idayati berpulang ke Rahmatullah
Malam Jum’at, Ramadhan 1429 H

Dan untuk semua guru
Yang m embuat saya tak bisa berhenti kagum
pada profesi itu

Suatu Saat


Saat dipandang langit sore yang jarang kita lihat
Mungkin karena kita terlalu lama melukis huruf
Atau tak sadar dengan pergantian waktu
Saat masa terlewat begitu saja
Dan kita tetap sibuk dengan kertas dan pena

Apa kabar bumi hari ini ?
Tak sadar kita bahwa tak pernah lagi kita jenguk daun-daun yang berguguran
Atau angin yang berhembus sepoi, ingatkan bahwa hidup adalah serangkaian permainan
Permainan yang entah mengapa kita terlalu banyak tertegun di dalamnya

Berapakah tetes air mata yang telah tercurah untuk itu semua ?
Berapa malam yang kita lewatkan bersama jemari yang tak ada tidurnya ?
Berapa peluh yang kita cucurkan saat harus teraih tingkat paling puncak ?
Tapi berapakah sesungguhnya yang telah kita beli
Dengan harga mahal, dengan waktu, raga, dan hati ?

Adakah semua ini telah dimaknai
Moga bukan hanya sekedar sia-sia
Dan kelak kita temukan jawaban
Untuk apa kita di sana
( 27 April 2008)


Untuk semua teman-teman
mahasiswa fak. Farmasi UH ‘07

Sebuah Jalan, Aku di Sini, Kau di Seberang


Kita telah bersama meniti
Hingga takdir mengantarkan waktu pada sebuah jalan tenpat kita mendaki sekarang
Mulanya, pada sebuah jalan dengan sinar di ujungnya itulah kita menancapkan langkah
Dan berharap kita raih cahayanya bersama
Namun kini, di jalan itu
Aku di sini dan kau diseberang
Saling menatap dalam langkah yang sama
Saling memandang saat melakukan yang teka berbeda
Namun, tetap tak berubah
Aku disini, dan kau di seberang
Sesekali kau memicingkan mata pada langkahku
Dan terkadang akupun memandang heran ke arah jejakmu
Terasa sama, namun tetap berbeda
Aku di sini dan kau diseberang
Hanya saling memandang.
(16/07/08)
Buat semua “rekan kerja” seperjuangan
Kapan kita berhenti hanya saling memandang ?

Tiba-Tiba


Menggelayut tiba-tiba cerita tentang masa lalu
Tentang Subuh
Tentang kuas berpoles warna
Tentang matahari di esok pagi
Tentang langit dan hembusan angin di tiap jeda
Telah lama kita tak jumpa

Masih ingatkah kau tentang luka yang ingin kamu lihat ?
Tidakkah kau kenang sebuah malam panjang berbalut harap
Atau tentang petang yang terbungkus tanya
Entah mengapa tak bisa kulupa
Ada yang menggelayut tiba-tiba hingga terarikan dengan liar di sebuah sketsa
Ingin segera kubakar agar tak bersisa

Dan akupun mulai dapat jujur pada kata-kata
Masih ingatkah kau ?
Sesuatu yang pernah ada, namun kini entah dimana
Makassar, 9 Juni 2008

Perkawinan Hujan


tak pernah mereka jumpa
bahkan lewat kabel atau udara
tapi pada akhirnya
awanlah yang antarkan tiap rintik
untuk tunaikan lagi tugasnya
tunaikan perkawinan hujan

lalu saat ia dilepas turun dari langit
meski menghantam daun
memercik pada kaca
atau berakhir di kubangan

cukuplah baginya saat sadar
ada kawan yang tunaikan tugas
tunaikan perkawinan hujan

perkawinan hujan itulah sesederhananya cinta
jika waktunya tiba
ia berangkat
tanpa berpikir, tanpa berharap
hingga berjumpa dengan tanah yang menunggunya tiba

perkawinan hujan ;
perkawinan rintik dan tanah
sesederhananya cinta
sejatinya cinta
(Jan, 8 2008)

dari perkawinan seorang akhwat,
bersamaan dengan perkawinan hujan

Bertahan


saat senja berganti
mentari menjemput dengan sinaran
saat ku tahu akan ada banyak hal baru yang datang
tapi tak sedikit yang hilang
tercerabut hingga ke akar-akar
maka nyatalah apa yang selama ini dihayati indahnya
dan saat demua tinggal kenang
rindu tak habis-habisnya...

waktu senja menjingga di langit
dan har berakhir dengan caranya
saat terlewat lagi satu waktu dengan peristiwa
tapi kembali datang lagi pada eskonya
saat tersadarlah
aku harus bertahan
aku harus bertahan
(Okt, 6 2007)

Kali Ini


kali ini biar aku yang berkata
kali ini biar aku yang tentukan
ke mana langkah akan terhenti
atau berlanjut
entah hingga di mana
kembali terhenti
karena esok tak ada yang mengerti
maka apa yang ada saat ini
itulah yang digenggam
mungkin digigit dengan geraham
(Okt, 6 2007)

Sekarang


taukah kalian
tentang saat dimana mentari bersinar dengan enggan
waktu antarkan langkah lemah yang termakan dunia
awan-awan mengeruhkan warnanya
dan hati makin perih oleh nyata
hingga bertemunya terasa tak tersampaikan

apakah waktu yang antarakan kita
tentang segala perubahan ?
atau memang kita yang antarakan ia untuk menghempaskan?

adakah saat dimana angin kembali semilir,
mengisi paru-paru
dan hati yang membisu
(Nov, 10 2007)



Hilang


lama tak kujenguk hurufhuruf pada sarangnya
sampaikan bendung rindu yang bergumul tak terjawab
mengapa jalan ini begitu sepi ?
kadang terasa gelap dan sunyi
lalu di mana langkah dan dekap itu ?
hilang ?
tak ganti.
waktu sayap kupu-kupu mengepak di aliran perak sungai
tempat dulu kita basuh wajah
bersama pelangi yang telah habis hijaunya
hilang ?
tak ganti ?
(Nov, 7 2007)

Mengapa Kau Tak Letih Bersujud?


kau mungkin tak sadar
saat kupicingkan mata di sepertiga malam ; kembali kutangkap sujudmu untuk keseribu kalinya
mengapa kau tak letih bersujud?
namun tak jua kau jawab, kawan
keningmu terus ambruk menghantam daratan; nikmati tiap tetes peluh
bercampur air mata
bercampur peluh
kudapati lagi kau dalam sujudmu
mengapa kau tak letih bersujud ?
kau tak jua menjawab, hanya rekahkan senyum
di subuh, siang, senja, malam, ka uterus saja bersujud, tak jua menjawab padaku
hingga aku ikut berdiri di sampingmu
ikut ambruk menghantam daratan bersama sujudmu
mengapa kau tak letih bersujud ?
katamu : “untuk masa-masa berat yang pasti datang padaku ;
saat tercabut ruh dari
jasadku”.

SajakSajak Menulis Diri


maka kuikhlaskan sajak-sajak menulis diri
agar aku berani menulis aku
agar aku berani menulismu


teruntuk sajak,
maaf belum bisa percaya
padamu

aku mau terbang saja
melintasi ruang dan waktu bersama angin
ke awan
ke matahari
biar saja terbakar dan jatuh ke bumi
biar ku tau
seharusnya tidak berusaha untuk
terbang lagi

Yang Tertinggal dan Yang Tersisa


kita seharusnya telah tahu
saat hujan reda dan angin membeku di sudut jendela
saat semua kadang terasa terlalu berarti untuk pergi
atau saat banyak yang terlupa karena kita terlalu cepat mengeja kata

kita seharusnya bisa mengerti
bahwa mentaripun segera berganti saat senja menghitam dan kita sadar bahwa langit telah lama menanti bintang
tapi tetap saja pagi kita rindukan

---yang tersisa di sini
banyak angan dan asa
banyak tawa dan duka
banyak yang terlukis dan terlalu indah ditoreh kelam
banyak yang hilang meski selalu ada di satu sudut yang tak pernah kita mengerti letaknya.

---yang tertinggal di sini
segumpal kasih yang terbingkai pasti
sekotak pelangi berwarna-warni
yang kita lengkungkan bersama di atas awan
yang kita ambil hijaunya dan kita lingkarkan

saat semuanya terlewat
entah pergi atau tetap di sini
tertulis jelas, insya Allah
karena itulah kita percaya

kita telah lama berkaca bersama
dan sekejap harus membagi satu sisi untuk kau bawa
berkaca sendiri dan terus berbenah
terlihat nyata, insya Allah
karena itulah kita percaya

untukmu saja
karena kali ini banyak untaian yang jadi kenangan
tentang banyak hal, kawan
ada air mata pada akhirnya.

ditulis pertama kali untuk ukhti Dian Ayu,
dihadiahkan kemudian pada Oriza Sativa, dan kembali menjadi saksi

untuk perpisahan-perpisahan selanjutnya
ah..., perpisahan...

Rindu; Tak HabisHabis


:akhwatfillah
akhirnya
diantarlah waktu pada huruf yang terangkai
mungkin memang luntur jika terpercik air
tapi tidak yang di nurani
waktu kau berkata tentang rindumu
dan kuseka air matamu dengan hati kecilku:
sudahlah, sebab aku juga rindu
waktu kau mengeja kata
buat kelembutan itu terluka
buatku tertegun :
terima kasih untuk telah mengingatkanku
waktu kau meletakkan tangan pada pundakku
titipkan beribu kupu-kupu
dan kuperlihatkan padamu : ini senyumku !
--- tapi taukah kalian?
rindu itu kini sembunyi
lalu kata dan senyum itu, entah dimana lagi kucari
waktu kalian tak lagi di sini
waktu kalian tak lagi di sini
rindu tak habis-habis.
(oktober 13 ‘07/1 Syawal 1428)

Waktu Musim Beku


di sudut jendela yang dingin
berharap cahaya
waktu musim beku memiaskan sudut-sudut yang terdiam
jauh di sana tak habis-habis rndu
saa tercerabut hingga akar-akar
bahkan bukan karena tak lagi bertemu dalam tinta dan helaian
tapi bahkan saat mengapa terasa begitu rindu pada kata-kata:
sudah lama kita tak jumpa
waktu musim beku dan tetap mengalir tanpa bendung di sudut mata
terjatuh ke bumi
lalu diserap tanah dan tumbuhkan pohon tanpa bunga, tanpa daun, bahkan yang paling layu sekalipun
waktu musim beku ditengok sebuah ruang, dingin, sunyi, sepi...
apakah itu kau, hati ?
(september 20 ‘07 )
bersabarlah
bukankah Allah bersamamu ?

Cerita Senja


aku mendengar cerita tentang senja
berakhir pada mentari yang tergelincir di biru laut
apakah yang bawa ia untuk kembali datang di esoknya?
pancarkan sinar yang sama meski tertutup awan atau menyeruak lewat titik-titik yang pecah
ia pancarkan sinar yang sama
hanya kita yang rasakan beda
lalu ia kembali tenggelam pada senja
namun tetap datang lagi pada esoknya
maka ajarkanlah, mentari,
apa yang bawamu kembali ke sini ?
katanya ; “sebab segalanya terus berputar, bukan kita penentu hentinya, maka pantaskah kita padamkan cahaya?”.
(juli 7 ’07)

pasca SPMB
live must go on...

Perempuan Datang


perempuan datang ke kaki langit
tatap embun dan hujan
dan mentari berwarna kelabu
menghirup semua aroma dari tiap-tiap kisah dari dasar-dasar tanah dan cerita tentang mekarnya bunga
lihat semua titik-titik tangis pada sebingkai senyum, pahit
datang ke kaki langit tatap mentari berwarna kelabu
dan bulan yang membiru
setelahnya,
perempuan tak pernah datang lagi.
(juni 28 ’07)

Perempuan Bertanya


benarkah hidup adalah perjuangan?
jika akhirnya telah ada mimpi yang tercipta
bahkan jauh sebelum kita mulai terlelap
tertatih ikuti arah angin yang telah lama tertata dalam kisah
lalu apa lagi yang harus diperjuangkan?
jika sejak awal kita memetik bunga-bunga melalui semua catatan yang ditentukan
pada mimpi sebelum kita terlelap
pada kisah yang tak rampung dituliskan
pada sketsa yang tergeletak di atas meja
pada nyanyian yang terhenti di pita suara
----untuk apa ?
perempuan tak henti bertanya
(juni 1 ’07)

tapi, aku percaya padamu, Tuhan.

Siapakah Dia?


yang menyumbang tinta hingga sebait sajak tercipta
dan buatmu merasa indah masa
meski tetap berbohong pada katakata

siapakah dia ?
yang buatmu menulis beribu larik tentang ingatan
padahal ia sedang nikmati secangkir teh, senyum tipis ;
tak mengenang apa-apa
bisakah kau berhenti lahirkan huruf dari kandung pena?
seandainya nanti kau sadar, harus membakar banyak nyanyian
agar segera ia terlupa
(maret 29 ‘07)

Aku Mengenal Orang Itu


kenalkan, aku yang lahir dari rahim kata-kata
dan menangis sebeb terpilih hadir di dunia
suatu senja
saat bertemu dengannya
ya, aku mengenal orang itu
tapi sejauh kucari ingat,
ternyata dulu telah kukubur ia hiduphidup
sekedar menjawab panggilan liang lahat;
lamatlamat di kupingku.

ya, sepertinya aku mengenal orang itu
tapi sepanjang kubongkar kenang,
ternyata dulu telah kupadam lentera,
hngga sekitab kisahnya menjadi tak terbaca.
(maret 29 ‘07)

Selasa, 12 Mei 2009

Aku Ingin Membunuh


maka kucipta sajak dari hurufhuruf yang keras
membentuk gagang dan tajam belati di ujungnya
aku ingin membunuh
kemarau yang layukan bungabunga, layukan harap
ketakutan yang jatuhkan harap, sirnakan kenangan
ingatan yang gantkan kenangan tentang suatu masa

aku ingin membunuh
yang meletakan kata manis pada tajam belatiku hingga kuhunuskan saja agar terkoyak jantungnya.
kuhunuskan agar terkoyak jantungnya dan berserulah segala dendam sebab kemenangan.

maafkan aku, tuhan
sebab ternyata sajak terlalu suci untuk menjelma belati
sebab dendam itulah yang menusuk diriku sendiri
pada akhirnya, akulah yang mati.
(maret 29 ‘07)

Menghitung Awan


waktu siang
menghitung awan
adakah mereka sebanyak dosa?
atau telah terkalah oleh kesalahan
manusia
kita
dosa dan salah melebihi
hitungan awan
adakah terampunkan?
(maret 27 ’07)

Seandainya


sendainya tak perlu ada perjumpaan
di suatu subuh yang meloncat memulai waktu
hari itu
seandainya tak usah kau menggoreskan kuas pada lembaran kertas yang membawa pada masa saat senja terasa indah
seandainya tak perlu kau berkata tentang matahari di esok pagi
bersama siapa berharap kau melukisnya
seandainya tak pernah kau memalingkan langkah untuk menyebutnya di hadapan langit waktu berhembus lembut angin diantara tiap jeda
seandainya bisa ada kata seandainya
namun sayang ia memang tak pernah berarti apa-apa
selain bercerita tentang selaksa bimbang
yang entah kapan bisa terlupa
(maret 26 ’07)

Bulu Mata yang Jatuh


pada sepercik embun yang menempel pada mentari
berbuah rindu, tapi sayu
memudarkan deret-deret warna dan ingatan pada suatu waktu terliput malam
seharusnya ia terpudar ...
berakhirlah kata-kata yang mengeja makna dan menggilir arti di tiap hurufnya menyayat larik-larik yang tergores pada kenangan kisah-kisah dalam kalimat panjang, tanpa jeda, tanpa titik akhir, tanpa katakata
. . . hanya bulu mata yang jatuh
bukan apa-apa.
(maret 21 ’07)

Tanya


kepada siapa lagi seharusnya tanya?
jika bukan pada daun-daun
menatap ranggas kemarau yang mengukir keriput pada kulit;
berwarna tanah
sebening-beningnya waktu terpukat pada seribu tanya
kepa siapa lagi seharusnya?
jika bukan pada malam dan langit yang bersamanya
maka saat jawab tak lagi ada pada dunia
tanya tak lagi menjadi seharusnya
(maret 20 ’07)

padahal tanya itu tak henti bertanya
tak adakah jawabnya?