Senin, 26 Oktober 2009

Penyair Seorang Pujangga


Terdiam dalam sajak dan pekat malam
Mengais-ngais jejak rindu yang terburamkan oleh waktu
Sementara penyair tak juga sepi diantara hening
Sebab kata-kata telah ramai berucap dengan riuh
Tanpa suara
Tanpa titik akhir

Dan bila kiranya telah kau tengok ia pada pemilik yang lain
Maka tanyakanlah pada hati,
Pantaskah jika kau renggut kata-kata dengan polesan pada dirimu sendiri
Lalu terburu-buru menyebutnya sebagai goresmu
Sementara mereka terlampau polos dan menjadi tak lagi punya makna saat dirampas oleh pujangga yang lain

Olehnya kata-kata menulis diri
Ia lahir bukan hanya karena ujung pena yang tak kering-kering
Tapi sebab jiwa yang menggoreskannya pun selalu basah oleh tanya tentang hidup dan matinya
Bertanya tentang segala jejak yang disisakannya
Bertanya tentang hari esok, masih datangkah ia?

Sebab penyair seorang pujangga
Keduanya adalah ibunda
Anaknya adalah kata-kata

(makassar, 27 oktober 2009)
’Untuk semua pecinta kata’

Selasa, 20 Oktober 2009

Jika Cahayanya Menyilaukanmu



Tersebutlah cerita tentang sang surya
Lama kita mengenalnya, tapi tak cukup lama untuk saling menyatukan jiwa
Hingga kemudian ditakdirkanlah kita dalam sebuh perjumpaan penuh cahaya
Saat terasa angin syurga berhembus pada tamannya,
Atau pada pertemuan lain yang tidak kita kira

Selanjutnya waktupun berjalan dengan caranya
Hingga tanpa kita sangka, ternyata telah teramat fasih kusebut namamu dalam doa
Pun dengan wajah ceria yang melunturkan segala penat saat kutatap wajahmu pertamakalinya
Ya, mungkin karena ikatan yang kuat itu telah terbangun, dan bahkan melebihi ikatan antara mereka yang sedarah
Kau sebut aku ‘ukhti’ dan tak ada yang akan berubah dengannya, itu janji kita

Namun, jika memang bagimu aku adalah sang surya
Pun bagiku kau adalah matahari yang kedua
Maka ternyata kita tak dapat mengelakkan malam yang datang sehingga masing-masing cahaya kita harus berganti kelam,
Suatu saat,
Ketika prahara datang karena hati yang mungkin tak sejernih yang kita kira

Kadang cahaya yang kita bagi juga terlampau menyilaukan sehingga air mata itupun menetes dari kedua kornea yang kecewa kalbunya,
Suatu saat
Ketika lisan tak terjaga, dan syaithan meniupkan was-was agar ia dapat tersenyum sebab berhasil membuat dua jiwa jauh jaraknya

Maka saat kelam kau rasa
Atau saat cahayanya terlampau menyilaukan
Ingatlah kembali bahwa bukan karena apa-apa kita saling memupuk keinginan untuk menyempurnakan langkah hingga sampai tujuan
Bukan karena apa-apa, ukhti…
Kecuali karena Allah saja!

Mks, 21 Oktober 2009

Spesial buat Ukhti Haniyah…
‘ini puisi yang saya janjikan, dibacanya pake hati yah, sambil mengingat wajah saudarita satu per satu…, dan tersenyumlah!’

Jumat, 16 Oktober 2009

Sebab Aku Takut


Sebab aku takut bertemu denganMu dengan hati yang kelabu
Maka telah kucampakkan belati yang mengeras di dalam kalbu
Untuk kemudian kulupakan semua dendam itu
Pada suatu waktu saat aku begitu merasa malu padaMu

Kamis, 01 Oktober 2009

Teruntuk: Kakak, Sahabat, dan Ibu, Katamu.




Saat kau datang membawa pendar cahaya itu
Kutangkap dengan nafas yang berkejar-kejar diantara waktu
Mebalut tiap senti dari tubuh lalu merasuk ke hati hingga berubah warnyanya menjadi tak lagi kelabu

Kujalin pelan-pelan tiap benang cahaya yang kau beri
Agar suatu hari dapat kuguna mencipta jalan lurus yang selalu terdengung dalam tegak setelah takbir
Kadang kulepas kembali saat datang angin kencang yang menghujam
Namun kucoba kembali anyam saat kembali terbit mentari

Tapi ternyata tetap tak dapat kulupa taman syurga yang kau hampar tiap sore di sudut itu
Tak juga tentang perjalanan panjang yang kau tempuh untuk sebuah perjumpaan yang mungkin lebih singkat dari langkahmu menuju
Juga saat kau meyakinkanku betapa dekatnya Allah, kau kenalkanku pada Baginda Rasulullah, dan buatku terharu sebab dilahirkan dari rahim seorang muslimah


Tak akan bisa kulupa meski apapun yang terjadi padamu
Tak akan bisa kulupa meski apapun yang kau kenakan dulu kini tak di situ
Tapi, kak…
Mata itu tetaplah mata yang sama
Mata yang seolah berkata;
Betapa mahalnya harga hidayah Allah…

“ada sesak yang menyeruak, Kak.
Tapi masa lalu tak akan pernah berubah khan?
Ini aku, unta merahmu..”

(Makassar, 1 September 2009)