Senin, 13 Juni 2011

Kata Selepas Senja


di senja yang megah itu

sungguh,

aku tidak peduli bagaimana cara mereka menginjak-injak puisi

sebab sudah terlalu lama kami membersamai

meski aku menyahut dan ia hanya mengangguk

tak mengapa,

itu saja


maka biarkanlah kuterbangkan selembar sapu tangan yang tertiup angin sebagai tanda perpisahan

sebab memang tidak dapat kita paksakan takdir yang sudah sejak lama tertuliskan

lalu memilih untuk tetap menatap lepasnya senja, bahkan meski kita sangat mencintainya


biarlah saja,

kita nikmati rembulan dari kejauhan

sebab aku khawatir

memandangnya dari dekat akan mengubah senyum di wajahmu

saat kau sadar, ia tidak seindah yang kau kira.

gambar: devianart.com

Jumat, 10 Juni 2011

bagaimana bahagia, bahagia bagaimana


Seperti apakah disebut bahagia?

Apakah saat pagi hari mata kita sanggup terbuka dari pejamnya?

Atau waktu mentari mampu menyinari tanpa terhalang oleh awan mendung yang mengandung hujan?

Entahlah.




Kapankah bahagia?

Mungkin waktu Bung Karno berhasil membaca proklamasi di sebuah hari di Agustus yang telah terlewat

Dan menuntaskan sisa perjuangan Cut Nyak Dien, Bung Tomo, atau para pendiri Serikat Dagang Islam

Melepaskan diri dari belenggu para kumpeni berhidung mancung berambut pirang, dan bangsa bermata sipit berkulit putih Jepang

Konon, mereka beratus tahun telah memaksakan romusha dan penindasan di negeri kita


Mengapa disebut bahagia?

Apakah karena telah berhasil bertambah panjang nama sebab titel-titel setelah kuliah bertahun lamanya?

Atau sebab sukses mengguna baju seragam untuk sebuah instansi dengan gaji tinggi dan fasilitas mewah?

Atau karena selalu disambut hormat dan bungkukan badan karena telah sampai pada derajat pejabat?


Bagaimana bahagia?

Mungkin seperti saat Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan oleh Rasulullah

Atau waktu Makkah berhasil ditaklukkan

Atau saat para ilmuwan meletakkan berbagai dasar-dasar ilmu di Andalusia

Ataukah saat Ka’ab bin Malik dikabarkan tentang diterimanya pertaubatannya sebab mangkir dari jihad?

Nikmatilah hari yang paling indah sejak kau dilahirkan...


Itulah bahagia,

Saat kita bersama saling menegur saat tersalah

Waktu salah seorang dari kita merasa sedikit nyeri, namun bersedia memperbaiki kekhilafan

Waktu kita saling menguatkan dalam kebenaran dan kesabaran

Hingga di sanalah bahagia

Saat langkah telah sampai di pintu jannah


(Masjid Telkom, Juni 1o ’11)

*Buat Niniek Sannang yang dirindukan.

gambar: devianart.com

Senin, 06 Juni 2011

percakapan

Seorang istri menatap daun yang berguguran

Ia dapati reranting dan daun kering yang saling melupakan

Setelah kebersamaan berbagai musim yang telah lewat

Lalu ia bertanya kepada lelaki-nya;

Wahai imamku,

Jika aku telah tiada

Secepat itukah kau akan lupa?




Maka lelaki itu menatap mata istrinya, teduh

Bagaimana bisa,

Ucapnya dengan lembut

Aku lupa pada wanita yang pertamakali mengajariku cinta



Lalu sang lelaki melihat awan yang berarak, pergi meninggalkan langit tempatnya menggelantung sebelumnya

Menuju potongan langit lain tempat ia kembali meneduhkan

Lalu ia bertanya kepada wanita-nya

Wahai bidadari,

Jika nanti aku pergi

Apakah sosokku akan tetap dalam ingatmu?




Maka wanita itu menatap mata suaminya, lembut

Bagaimana mungkin,

Ucapnya tanpa ragu

Aku berhenti mengingat pria yang ridha-nya adalah jannah


Lalu keduanya terinsyaf kepada perpisahan

Yang selalu membersamai takdir perjumpaan

Tapi setelahnya

Akan selalu ada kenangan

Dan rindu yang dapat menyeruak kapan saja

(6/6/2011)

Kado pernikahan untuk Kak Sakinah Dewi Fitriana di hari bahagianya, 4 Juni 2011. ^_^
Afwan, terlambat Kak! >_<