Sabtu, 30 Mei 2009

Puisi Kamar



Hening berkeliling mendering
Berbalut sepi di salah satu lorong imaji
Di sudut, seseorang menulis puisi
Pita merah mengikat di ujungnya, dengan janji, mengikat tiap hurufnya
Puisi kamar terikat dari hati
Kelak, diberi sebagai mahar saat pernikahan nanti
Puisi kamar tercipta dari angan
Besok, digantung di kaki langit untuk diraih suatu hari


Seseorang masih menulis puisi
Memberi titik pada akhirnya yang tak berakhir.

Saat Kita Jenguk Kembali Kata




Rasanya tetap sama kawan,
Saat kita jenguk kembali kata
Waktu ada jeda antara lelap dan saat kita pandang hari bersama mentarinya
Bukan saat kita lihat langit dengan pandang sedih
Sebab sekali lagi mungkin hanya bulan yang tersisa untuk kita
Saat melewati tiap langkah menuju rumah

Rasanya tetap sama,
Saat kita jenguk kembali kata
Dan membuainya dengan sajak-sajak
Dengan latar sajak paling indah yang kita percaya
Sajak dari Allah, Al Qur’an
Bukan karena kita baca ia dengan cepat-cepat sebab waktu tak berhenti tuk menanti
Tapi karena memang kita butuh padanya
Dan kita telah rindu pada cintaNya yang membuncah dari langitNya

Rasanya tetap sama,
Saat kita jenguk kembali kata
Dan berharap esok lebih banyak lagi waktu bersamanya
Waktu untuk saling mengingatkan lewat untai huruf
Waktu untuk saling menegur lewat baris-barisnya
Waktu untuk saling menyatakan cinta
Waktu untuk kembali memaknakan waktu yang tersisa
(18/03/09)

Selasa, 19 Mei 2009

Antara


Diantara malam hening dan detak jarum jam antara pukul tiga
Antara laporan biokim dan sintesis obat
Antara ayat-ayat al Anfal
Ada Tanya yang menyeruak tiba-tiba
Tentang masa depan bagaimanakah ia nantinya ?
Tentang indahnya kehidupan dengan scenario yang tidak terduga
Antara Tanya akan ada dan tiadanya
Angin malam rupanya telah berkata tentang pekat
Juga tentang air mata dari mata air yang menetes di atas sajadah
Sujud-sujud panjag para perindu syurga
Antara gelak tawa penikmat dunia
Diantara semuanya akan ada tanya
Untuk apakah kita dicipta ?

Jangan marah, ukhti...
Sebab rupanya mata telah terlelap oleh lelah
Dan bait-bait ini hanyalah sedikit ucap dari apa yang tak gerakkan lidah

Ukhtiku Cantik Sekali


---sudah lama sebenarnya jemari ingin menari
Namun rupanya baru kali ini ia dapat berpesta dengan kalahnya diri, ya, ia telah kembali


Tak peduli kusamnya wajah
Karena jalan yang kita tempuh ada cahaya di akhirnya
Nanti, itulah yang akan mencerahkan wajahmu yang sebenarnya, wajah yang ada di jiwa.
Tak peduli kunonya sandang
Sebab inilah pakaian terindah yang dipilihkan olehNya untukmu.
Inilah pakaian yang paling mulia, yang paling anggun yang sebenarnya
Tak peduli apapun mau dikata
Sebab apa yang kau punya
Memang yang paling indah
(16/10/08)

Ukhti, Ajari Aku Sepertimu




Malam meringkuk di disudut-sudutnya
Sisakan juga semburat renung di jiwa
Apa yang telah tercipta lewat sebaris waku yang terus berputar
Lewat berbagai macam jenak yang membentuk masa yang kini aku berada di dalamnya
Juga tiap mata yang memandang dan terdiam
Menganggap segalanya telah selesai dan segalanya baik-baik saja

Ukhti,
Ajari aku sepertimu
Mungkin di tiap malammu yang tegak
Mungkin di tiap pagimu yang tak alpa
Juga tiap senjamu yang tak seperti apa yang kupunya

Ukthti,
Sesungguhnya waktu telah berlalu begitu lama
Mencipta tiap adegan yang terlalui
Namun saat kita terdiam
Ternyata tak ada bekas di hati
Aku masih seperti ini.
(makassar, 15/10/08 jam 10.39)

Wasiat


Dik, jika nanti aku mati
Bukalah tiap lembar sajak untuk ingat pada kakakmu ini
Tak banyak memang yang dapat mengerti
Sebab sejak awal ia adalah seorang penyimpan rahasia abadi

Dik, jika nanti aku mati
Bunga-bunga mungkin tak banyak berganti
Sebab memang jarang kutengok mereka
Rumput di depan rumahpun begitu
Sebab mungkin pernah kuinjak mereka dengan angkuh
Pun dengan tiap makhlukNya yang jarang kusentuh

Dik, jika nanti aku mati
Sajak-sajak itu rupanya telah bercerita tentang diri
Belajarlah dari tiap untai kata yang cipta siluet-siluet kakakmu.
Sebab tanpa mereka mungkin telah lama nafasku tersengal
Dan hanya dapat memandang bulan sebagai malam
Dan mentari adalah siangnya.
(23 Ramadhan 1429)

Memandang Subuh


Memandang subuh dari balik jendela
Hening cipta ribuan kata hati yang terpaut tanya
Di banyak sudut yang tak terjamah oleh mata
Malaikat-malaikat menabur rahmat dari Tuhannya.

Ada dengkur yang tercipta di setiap ruang
Hari ini mungkin bukan kau yang di sana
Namun entah besok siapa nyana
Saat raga kembali lupa mengapa ia tercipta
Nampak angkuh dalam tiap hela nafas yang berat
Padahal ia berada dalam satu baris menunggu eksekusi maut

Memandang subuh dari dinding-dinding kamar
Terpaut oleh ayat-ayatNya yang mengalir lancar dari bibir
Mungkin juga dari hati
Yang kembali bertanya
Adakah ini ayat terakhir yang dapat terucap
Padahal aku kembali alpa, Tuhan.
Semalam terlelap dalam buai nafsu
Dan lupa pada janjiku bertemu denganMu
Padahal subuh kembali menjelang
Dan tak seorangpun bilang akan hidupku hingga petang

Subuh merembes di balik tirai
Beberapa saat menyapa untuk kemudian pergi entah kemana
Mungkin, ia akan kembali lagi esok
Tapi toh tak pernah ini ucap janji
Maka dipandanglah subuh itu kali ini
Mungkin saja ini adalah yang terakhir.
(23 Ramadhan 1429 H)

Di kamar tidur
Di akhir subuh

Sabtu, 16 Mei 2009

Saat Kau Pergi


;untuk Ibu Idayati, wali kelasku masa SMP

Apakah lagi yang harus terucap, ibu
Saat pelangi memainkan sajak suci di atas buramnya sebuah warna pada bening sungai di kala pekat
Dan kurasa sebuah bintang berhenti berkelip dari benderang yang dulu datang kau bawa
Ada yang hilang saat kau pergi, ibu.
Debu-debu di tanganmu
Dan potongan kapur tulis berserak di sudut celah-celah rindu
Cerita tentang lukisan hidup dan kisah yang pertama ajarkan kita
Pada setiap nafas yang berhembus
Dan mengalirnya darah dalam tiap pembuluh

Saat kau pergi ibu,
Anginpun berkata bahwa ia rasa sunyi tanpamu
Maka ceritakanlah barang sedikit saja, ibu
Adakah sakit rasanya saat datang tamu terakhir itu ?
Apakah lagi yang ditanya saat tapak-tapak kaki menjauh dan tinggallah kelam dan hening
Adakah telah kau tatap wajahNya dengan kedua matamu ?
Adakah kau telah tenang dan menunggu saatnya tiba, saat nanti kita kembali jumpa
Meski mungkin kita tak lagi saling menyapa

Mentari tersaput kelam saat pergimu, ibu.
Ia bercerita padaku tentang mendung karena pisah denganmu.



Ibu Idayati berpulang ke Rahmatullah
Malam Jum’at, Ramadhan 1429 H

Dan untuk semua guru
Yang m embuat saya tak bisa berhenti kagum
pada profesi itu

Suatu Saat


Saat dipandang langit sore yang jarang kita lihat
Mungkin karena kita terlalu lama melukis huruf
Atau tak sadar dengan pergantian waktu
Saat masa terlewat begitu saja
Dan kita tetap sibuk dengan kertas dan pena

Apa kabar bumi hari ini ?
Tak sadar kita bahwa tak pernah lagi kita jenguk daun-daun yang berguguran
Atau angin yang berhembus sepoi, ingatkan bahwa hidup adalah serangkaian permainan
Permainan yang entah mengapa kita terlalu banyak tertegun di dalamnya

Berapakah tetes air mata yang telah tercurah untuk itu semua ?
Berapa malam yang kita lewatkan bersama jemari yang tak ada tidurnya ?
Berapa peluh yang kita cucurkan saat harus teraih tingkat paling puncak ?
Tapi berapakah sesungguhnya yang telah kita beli
Dengan harga mahal, dengan waktu, raga, dan hati ?

Adakah semua ini telah dimaknai
Moga bukan hanya sekedar sia-sia
Dan kelak kita temukan jawaban
Untuk apa kita di sana
( 27 April 2008)


Untuk semua teman-teman
mahasiswa fak. Farmasi UH ‘07

Sebuah Jalan, Aku di Sini, Kau di Seberang


Kita telah bersama meniti
Hingga takdir mengantarkan waktu pada sebuah jalan tenpat kita mendaki sekarang
Mulanya, pada sebuah jalan dengan sinar di ujungnya itulah kita menancapkan langkah
Dan berharap kita raih cahayanya bersama
Namun kini, di jalan itu
Aku di sini dan kau diseberang
Saling menatap dalam langkah yang sama
Saling memandang saat melakukan yang teka berbeda
Namun, tetap tak berubah
Aku disini, dan kau di seberang
Sesekali kau memicingkan mata pada langkahku
Dan terkadang akupun memandang heran ke arah jejakmu
Terasa sama, namun tetap berbeda
Aku di sini dan kau diseberang
Hanya saling memandang.
(16/07/08)
Buat semua “rekan kerja” seperjuangan
Kapan kita berhenti hanya saling memandang ?

Tiba-Tiba


Menggelayut tiba-tiba cerita tentang masa lalu
Tentang Subuh
Tentang kuas berpoles warna
Tentang matahari di esok pagi
Tentang langit dan hembusan angin di tiap jeda
Telah lama kita tak jumpa

Masih ingatkah kau tentang luka yang ingin kamu lihat ?
Tidakkah kau kenang sebuah malam panjang berbalut harap
Atau tentang petang yang terbungkus tanya
Entah mengapa tak bisa kulupa
Ada yang menggelayut tiba-tiba hingga terarikan dengan liar di sebuah sketsa
Ingin segera kubakar agar tak bersisa

Dan akupun mulai dapat jujur pada kata-kata
Masih ingatkah kau ?
Sesuatu yang pernah ada, namun kini entah dimana
Makassar, 9 Juni 2008

Perkawinan Hujan


tak pernah mereka jumpa
bahkan lewat kabel atau udara
tapi pada akhirnya
awanlah yang antarkan tiap rintik
untuk tunaikan lagi tugasnya
tunaikan perkawinan hujan

lalu saat ia dilepas turun dari langit
meski menghantam daun
memercik pada kaca
atau berakhir di kubangan

cukuplah baginya saat sadar
ada kawan yang tunaikan tugas
tunaikan perkawinan hujan

perkawinan hujan itulah sesederhananya cinta
jika waktunya tiba
ia berangkat
tanpa berpikir, tanpa berharap
hingga berjumpa dengan tanah yang menunggunya tiba

perkawinan hujan ;
perkawinan rintik dan tanah
sesederhananya cinta
sejatinya cinta
(Jan, 8 2008)

dari perkawinan seorang akhwat,
bersamaan dengan perkawinan hujan

Bertahan


saat senja berganti
mentari menjemput dengan sinaran
saat ku tahu akan ada banyak hal baru yang datang
tapi tak sedikit yang hilang
tercerabut hingga ke akar-akar
maka nyatalah apa yang selama ini dihayati indahnya
dan saat demua tinggal kenang
rindu tak habis-habisnya...

waktu senja menjingga di langit
dan har berakhir dengan caranya
saat terlewat lagi satu waktu dengan peristiwa
tapi kembali datang lagi pada eskonya
saat tersadarlah
aku harus bertahan
aku harus bertahan
(Okt, 6 2007)

Kali Ini


kali ini biar aku yang berkata
kali ini biar aku yang tentukan
ke mana langkah akan terhenti
atau berlanjut
entah hingga di mana
kembali terhenti
karena esok tak ada yang mengerti
maka apa yang ada saat ini
itulah yang digenggam
mungkin digigit dengan geraham
(Okt, 6 2007)

Sekarang


taukah kalian
tentang saat dimana mentari bersinar dengan enggan
waktu antarkan langkah lemah yang termakan dunia
awan-awan mengeruhkan warnanya
dan hati makin perih oleh nyata
hingga bertemunya terasa tak tersampaikan

apakah waktu yang antarakan kita
tentang segala perubahan ?
atau memang kita yang antarakan ia untuk menghempaskan?

adakah saat dimana angin kembali semilir,
mengisi paru-paru
dan hati yang membisu
(Nov, 10 2007)



Hilang


lama tak kujenguk hurufhuruf pada sarangnya
sampaikan bendung rindu yang bergumul tak terjawab
mengapa jalan ini begitu sepi ?
kadang terasa gelap dan sunyi
lalu di mana langkah dan dekap itu ?
hilang ?
tak ganti.
waktu sayap kupu-kupu mengepak di aliran perak sungai
tempat dulu kita basuh wajah
bersama pelangi yang telah habis hijaunya
hilang ?
tak ganti ?
(Nov, 7 2007)

Mengapa Kau Tak Letih Bersujud?


kau mungkin tak sadar
saat kupicingkan mata di sepertiga malam ; kembali kutangkap sujudmu untuk keseribu kalinya
mengapa kau tak letih bersujud?
namun tak jua kau jawab, kawan
keningmu terus ambruk menghantam daratan; nikmati tiap tetes peluh
bercampur air mata
bercampur peluh
kudapati lagi kau dalam sujudmu
mengapa kau tak letih bersujud ?
kau tak jua menjawab, hanya rekahkan senyum
di subuh, siang, senja, malam, ka uterus saja bersujud, tak jua menjawab padaku
hingga aku ikut berdiri di sampingmu
ikut ambruk menghantam daratan bersama sujudmu
mengapa kau tak letih bersujud ?
katamu : “untuk masa-masa berat yang pasti datang padaku ;
saat tercabut ruh dari
jasadku”.

SajakSajak Menulis Diri


maka kuikhlaskan sajak-sajak menulis diri
agar aku berani menulis aku
agar aku berani menulismu


teruntuk sajak,
maaf belum bisa percaya
padamu

aku mau terbang saja
melintasi ruang dan waktu bersama angin
ke awan
ke matahari
biar saja terbakar dan jatuh ke bumi
biar ku tau
seharusnya tidak berusaha untuk
terbang lagi

Yang Tertinggal dan Yang Tersisa


kita seharusnya telah tahu
saat hujan reda dan angin membeku di sudut jendela
saat semua kadang terasa terlalu berarti untuk pergi
atau saat banyak yang terlupa karena kita terlalu cepat mengeja kata

kita seharusnya bisa mengerti
bahwa mentaripun segera berganti saat senja menghitam dan kita sadar bahwa langit telah lama menanti bintang
tapi tetap saja pagi kita rindukan

---yang tersisa di sini
banyak angan dan asa
banyak tawa dan duka
banyak yang terlukis dan terlalu indah ditoreh kelam
banyak yang hilang meski selalu ada di satu sudut yang tak pernah kita mengerti letaknya.

---yang tertinggal di sini
segumpal kasih yang terbingkai pasti
sekotak pelangi berwarna-warni
yang kita lengkungkan bersama di atas awan
yang kita ambil hijaunya dan kita lingkarkan

saat semuanya terlewat
entah pergi atau tetap di sini
tertulis jelas, insya Allah
karena itulah kita percaya

kita telah lama berkaca bersama
dan sekejap harus membagi satu sisi untuk kau bawa
berkaca sendiri dan terus berbenah
terlihat nyata, insya Allah
karena itulah kita percaya

untukmu saja
karena kali ini banyak untaian yang jadi kenangan
tentang banyak hal, kawan
ada air mata pada akhirnya.

ditulis pertama kali untuk ukhti Dian Ayu,
dihadiahkan kemudian pada Oriza Sativa, dan kembali menjadi saksi

untuk perpisahan-perpisahan selanjutnya
ah..., perpisahan...

Rindu; Tak HabisHabis


:akhwatfillah
akhirnya
diantarlah waktu pada huruf yang terangkai
mungkin memang luntur jika terpercik air
tapi tidak yang di nurani
waktu kau berkata tentang rindumu
dan kuseka air matamu dengan hati kecilku:
sudahlah, sebab aku juga rindu
waktu kau mengeja kata
buat kelembutan itu terluka
buatku tertegun :
terima kasih untuk telah mengingatkanku
waktu kau meletakkan tangan pada pundakku
titipkan beribu kupu-kupu
dan kuperlihatkan padamu : ini senyumku !
--- tapi taukah kalian?
rindu itu kini sembunyi
lalu kata dan senyum itu, entah dimana lagi kucari
waktu kalian tak lagi di sini
waktu kalian tak lagi di sini
rindu tak habis-habis.
(oktober 13 ‘07/1 Syawal 1428)

Waktu Musim Beku


di sudut jendela yang dingin
berharap cahaya
waktu musim beku memiaskan sudut-sudut yang terdiam
jauh di sana tak habis-habis rndu
saa tercerabut hingga akar-akar
bahkan bukan karena tak lagi bertemu dalam tinta dan helaian
tapi bahkan saat mengapa terasa begitu rindu pada kata-kata:
sudah lama kita tak jumpa
waktu musim beku dan tetap mengalir tanpa bendung di sudut mata
terjatuh ke bumi
lalu diserap tanah dan tumbuhkan pohon tanpa bunga, tanpa daun, bahkan yang paling layu sekalipun
waktu musim beku ditengok sebuah ruang, dingin, sunyi, sepi...
apakah itu kau, hati ?
(september 20 ‘07 )
bersabarlah
bukankah Allah bersamamu ?

Cerita Senja


aku mendengar cerita tentang senja
berakhir pada mentari yang tergelincir di biru laut
apakah yang bawa ia untuk kembali datang di esoknya?
pancarkan sinar yang sama meski tertutup awan atau menyeruak lewat titik-titik yang pecah
ia pancarkan sinar yang sama
hanya kita yang rasakan beda
lalu ia kembali tenggelam pada senja
namun tetap datang lagi pada esoknya
maka ajarkanlah, mentari,
apa yang bawamu kembali ke sini ?
katanya ; “sebab segalanya terus berputar, bukan kita penentu hentinya, maka pantaskah kita padamkan cahaya?”.
(juli 7 ’07)

pasca SPMB
live must go on...

Perempuan Datang


perempuan datang ke kaki langit
tatap embun dan hujan
dan mentari berwarna kelabu
menghirup semua aroma dari tiap-tiap kisah dari dasar-dasar tanah dan cerita tentang mekarnya bunga
lihat semua titik-titik tangis pada sebingkai senyum, pahit
datang ke kaki langit tatap mentari berwarna kelabu
dan bulan yang membiru
setelahnya,
perempuan tak pernah datang lagi.
(juni 28 ’07)

Perempuan Bertanya


benarkah hidup adalah perjuangan?
jika akhirnya telah ada mimpi yang tercipta
bahkan jauh sebelum kita mulai terlelap
tertatih ikuti arah angin yang telah lama tertata dalam kisah
lalu apa lagi yang harus diperjuangkan?
jika sejak awal kita memetik bunga-bunga melalui semua catatan yang ditentukan
pada mimpi sebelum kita terlelap
pada kisah yang tak rampung dituliskan
pada sketsa yang tergeletak di atas meja
pada nyanyian yang terhenti di pita suara
----untuk apa ?
perempuan tak henti bertanya
(juni 1 ’07)

tapi, aku percaya padamu, Tuhan.

Siapakah Dia?


yang menyumbang tinta hingga sebait sajak tercipta
dan buatmu merasa indah masa
meski tetap berbohong pada katakata

siapakah dia ?
yang buatmu menulis beribu larik tentang ingatan
padahal ia sedang nikmati secangkir teh, senyum tipis ;
tak mengenang apa-apa
bisakah kau berhenti lahirkan huruf dari kandung pena?
seandainya nanti kau sadar, harus membakar banyak nyanyian
agar segera ia terlupa
(maret 29 ‘07)

Aku Mengenal Orang Itu


kenalkan, aku yang lahir dari rahim kata-kata
dan menangis sebeb terpilih hadir di dunia
suatu senja
saat bertemu dengannya
ya, aku mengenal orang itu
tapi sejauh kucari ingat,
ternyata dulu telah kukubur ia hiduphidup
sekedar menjawab panggilan liang lahat;
lamatlamat di kupingku.

ya, sepertinya aku mengenal orang itu
tapi sepanjang kubongkar kenang,
ternyata dulu telah kupadam lentera,
hngga sekitab kisahnya menjadi tak terbaca.
(maret 29 ‘07)

Selasa, 12 Mei 2009

Aku Ingin Membunuh


maka kucipta sajak dari hurufhuruf yang keras
membentuk gagang dan tajam belati di ujungnya
aku ingin membunuh
kemarau yang layukan bungabunga, layukan harap
ketakutan yang jatuhkan harap, sirnakan kenangan
ingatan yang gantkan kenangan tentang suatu masa

aku ingin membunuh
yang meletakan kata manis pada tajam belatiku hingga kuhunuskan saja agar terkoyak jantungnya.
kuhunuskan agar terkoyak jantungnya dan berserulah segala dendam sebab kemenangan.

maafkan aku, tuhan
sebab ternyata sajak terlalu suci untuk menjelma belati
sebab dendam itulah yang menusuk diriku sendiri
pada akhirnya, akulah yang mati.
(maret 29 ‘07)

Menghitung Awan


waktu siang
menghitung awan
adakah mereka sebanyak dosa?
atau telah terkalah oleh kesalahan
manusia
kita
dosa dan salah melebihi
hitungan awan
adakah terampunkan?
(maret 27 ’07)

Seandainya


sendainya tak perlu ada perjumpaan
di suatu subuh yang meloncat memulai waktu
hari itu
seandainya tak usah kau menggoreskan kuas pada lembaran kertas yang membawa pada masa saat senja terasa indah
seandainya tak perlu kau berkata tentang matahari di esok pagi
bersama siapa berharap kau melukisnya
seandainya tak pernah kau memalingkan langkah untuk menyebutnya di hadapan langit waktu berhembus lembut angin diantara tiap jeda
seandainya bisa ada kata seandainya
namun sayang ia memang tak pernah berarti apa-apa
selain bercerita tentang selaksa bimbang
yang entah kapan bisa terlupa
(maret 26 ’07)

Bulu Mata yang Jatuh


pada sepercik embun yang menempel pada mentari
berbuah rindu, tapi sayu
memudarkan deret-deret warna dan ingatan pada suatu waktu terliput malam
seharusnya ia terpudar ...
berakhirlah kata-kata yang mengeja makna dan menggilir arti di tiap hurufnya menyayat larik-larik yang tergores pada kenangan kisah-kisah dalam kalimat panjang, tanpa jeda, tanpa titik akhir, tanpa katakata
. . . hanya bulu mata yang jatuh
bukan apa-apa.
(maret 21 ’07)

Tanya


kepada siapa lagi seharusnya tanya?
jika bukan pada daun-daun
menatap ranggas kemarau yang mengukir keriput pada kulit;
berwarna tanah
sebening-beningnya waktu terpukat pada seribu tanya
kepa siapa lagi seharusnya?
jika bukan pada malam dan langit yang bersamanya
maka saat jawab tak lagi ada pada dunia
tanya tak lagi menjadi seharusnya
(maret 20 ’07)

padahal tanya itu tak henti bertanya
tak adakah jawabnya?

Malam Saat Ia Sunyi


malam saat ia sunyi
menggeretakkan daun-daun
memudarkan segala ingat
kecuali tentang satu betapa takutku berpisah dengannya
yang mengalirkan anak sungai di pelupuk matanya, dipundakku
tak takut ia pada runtuhnya langit
tak takut ia pada berakhirnya waktu
tapi ia teramat takut pada berkurangnya rasa
meski bukan pada dirinya saja
malam saat ia sunyi
memudarkan segala ingat
kecuali tentang satu
(maret 13 ’07)

untuk seorang ukhtifillah…

Sepi


bukan mustahil ia merasa sepi
sebab ramai, sejatinya adalah saat ada banyak kebenaran, bertengger di tiap reranting
sementara
kita memang talah lama tak berbincang dengannya
dengan kebenaran yang entah di mana
entah pergi dan hinggap di tempat yang tidak ada lagi kita
di sana.
(maret 5 ’07)

Jika Nanti Waktu Tak Lagi Ada


di sebuah puncak
kita bersama menatap tenggelamnya hari di balik gelap dan surutnya kenangan di akhir kisah
segala yang selesai dengan lambat
atau semua yang pergi tanpa sangkaan
dan kita kembali mengeja tiap daun yang berguguran
tiap bibit yang tak tertanam
dan tiap tetes air yang kita jatuhkan
pada semua yang sampai di titik ujung pencapaian
kita sadar pada pagi yang berganti malam dan terbelah bulan
jatuh di laut saat fajar
terulang
lalu tiba pada khirnya
pada akhirnya, jika nanti waktu tak lagi ada
simpanlah saja sajak-sajak pengingat
agar adanya dapat terangkai oleh kata
meski kita telah sampai
pada akhirnya
(februari 14 ’07)

Sajak KotakKotak


kita telah menciptakan
kotak-kotak yang menyekat malam dari bulan
mengisinya dengan rumput yang meranggas dan selengkung embun di ujungnya
kotak-kotak yang terisi dengan tetesan embun berwarna merah yang teramat perih
menyilet-nyilet selaputnya hingga semakin nyata sakitnya di langit
menghantam kotak-kotak dan merobeknya hingga pecah dan ikut mengalir dalam aliran darah
membawa ingatan tentang sobekan kotak-kotak
kembali mengalir di anak sungai baru di kaki gunung dengan rencana penciptaan kotak-kotak baru oleh kita yang baru.
(februari 14 ’07)

Ada Orang yang Datang


dia datang bersama angin
namun tak juga menjelma angin dan pergi
ia berputar dengan baling-baling berdebu yang entah mengapa terdengar merdu
dia datang dengan getaran
tapi tak juga menjelma getaran dan menghilang
menjadi merambat pada setap relung kosong yang segera terisi tentang banyak ingatan
dan kisah
dan sepi
ini luka yang dulu ingin kau lihat
katamu, padanya
tak terlihat dan tak terucap yang kau mengerti mengapa
ia telah benar-benar seperti apa yang seharusnya
datang, namun telah menjelma angin dan getaran
mungkin, begitulah sebaiknya
atau mungkin,
entahlah.
(desember 27 ’06)

Dia Menunggu Ibu


erangannya diantara waktu, diantara lembab, diantara malam
ia menunggu ibu yang kemarin datang namun kembali menghilang
ia mencari cahaya saat mata terlengket pada gelap dan tak sadar pada ibu yang tak kunjung datang

kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa

akankah ia rasakan ?

erangannya diantara pagi dan sinar mentari
menunggu ibu yang entah telah susuri jalan
atau telah tertabrak mati
erangannya diantara sudut kardus,
makin jelas
makin jelas
meong…meong…meong…
dia masih menunggu ibu
(desember 22 ’06)

tentang kucing kecil di dalam kardus
yang sedang menanti ibunya

SajakSajak yang Berhamburan


bersama dari langit
hujan turun bersama sajak-sajak yang berhamburan
saat kau bertanya mengapa jalan telah jauh terlewat
sebab tak kau maknakan arti tiap langkah kecil yang tak sengaja menggeser tempat
kau kadang bingung betapa begitu banyak keberadaan yang tak terasa
lalu berapa lagi nikmat yang kau dustakan
berapa lagi keluh yang mnyemburat bersama duka yang sebenarnya baik-baik saja
bersama dari langit
hujan dan sajak-sajak yang berhamburan
saat kau tertegun
seharusnya selalu banyak syukur yang terucap.
(desember 20 ’06)

Tidakkah Kau Lelah?


tidakkah kau lelah pada waktu yang semakin kejam dengan hentakannya ?
tidakkah kau lelah pada segala yang berputar cepat tanpa menengok kabut di sudut matanya?
tidakkah kau lelah pada riuh yang menelan sepi padahal sesungguhnya kau telah jatuh cinta padanya ?
ya, kau telah jatuh cinta pada sepi
sepi yang tertelan masa seketika
kau lalu kembali jatuh cinta pada takut akan berakhirnya senja
hingga akhirnya kau sadar,
padaNya saja seharusnya kau bersimpuh meminta maaf
meminta damai yang entah sejak kapan terlalu kau rindukan
(desember 20 ’06)

Termenung Aku di Bawah Hujan


termenung aku di bawah hujan
menepis basah yang ajarkan arti hidup dan kehidupan
pada kilat di langit, ia menjelaskan
hingar bingar dunia diantara kelam
pada deru guntur, ia berkata
hidup memang tak selamanya mudah
lalu berkata bulir-bulir dari awan
memang selalu ada tangis
namun percayalah
ia telah mekarkan bunga-bunga
saat kita menyimpan senyuman
menatap pelangi di tepi jendela sehabis tersaput hujan
sehabis tersaput hujan
hujan telah berhenti sekarang
(november 16 ’06)

Seorang Wanita Berdoa Kepada Tuhannya


termangu ia di sudut beku
menghambur kata pada angkasa
ia berdoa pada Tuhannya;
jadikan lunak matahari di dadanya
maka iapun terjatuh pada kubangan
ia berdoa pada Tuhannya;
jadikan jauh apa yang tak nyata
maka iapun merasa sakit yang tak terkira
hingga ia berdoa pada Tuhannya;
jadikan segala yang terbaik baginya
maka iapun tersadar pada jatuh dan sakit
yang menjelma
cahaya.
(november ’06)

Bukan Langit yang Biru


tahukah kau bahwa bukan langit yang sebenarnya biru?
ia hanya memantulkan guratan-guratan lemah siapa-siapa yang terlampau letih memaknai hidup
ia hanya memperlihatkan warna-warna alam yang seharusnya dapat tersenyum
namun kita memaksanya bergelut dengan waktu
menikmati sisa umur yang terus berlalu
bukan langit yang biru
ia hanya sedang bercerita betapa hari terlampau berarti untuk kau lewati tanpa sesungging senyum
(september 28 ’06)

Rahasia


dia telah cukup lama mengangguk
meyakinkan setiap cerahnya lewat sesuatu yang tersaput kabut
samar-samar
tapi kemudian menjadi bayang yang nyata dan nampak terang
kemudian ia menari-nari dalam tiap lagu sumbang yang terdengar
mengatakan bahwa ungu dalah biru yang kemerah-merahan
dan menunjuk langit senja sebagai merah yang kekuningan
dia berbicara lewat mata
seharusnya ini bukan lagi tangis saat nampak jelas segala yang tak indah
dia muncul dari kerutan-kerutan
dan buramnyapun karena kerutan
saat kau tersadar
seharusnya selama ini menatap yang ada
sebagai yang benar-benar di sana .
(agustus 29 ’06)

Jangan Percaya


jangan terlalu percaya pada cinta
karena sinar-sinar dari langit telah membentuk selengkung warna
warna merah muda jangan percaya
sebab ia terlalu pucat saat kau mengolesnya pada senja
jangan percaya pada mata dan alis yang menaunginya
terkadang ia memang bukan lagi jendela jiwa.
(agustus 22 ’06)

Tak Terbaca


saat pergi dan kembali adalah niscaya
dan kita tak sadar telah mengukir gores pada masing-masing jiwa
kita terdiam dan menangis
aku termangu dan melukis kata-kata
yang berkilau di lorong imaji
yang tercipta oleh kerinduan bulan
pada sinar raja siang
tak usah mengerti karena sejak awal kita telah sama-sama pahami

entahlah.
mungkin lewat sudut hati masing-masing
disana sekali lagi kita menangis
saling mengusap wajah-wajah sembab dan saling pahami bahwa hanya ini yang kita bisa

terima kasih.
untuk siang saat kita merasa
punya satu belahan jiwa
untuk malam saat tanpa kita tau
ku sebut namamu
dan kau sebut namaku
dalam doa
untuk masa yang tak mungkin terulang dan tak lagi terbaca
namun kita masih punya kenangan
tak usah mengerti karena mungkin memang tak terbaca pada sudut-sudut kata

Yah.
kita telah tau untuk apa kita tercipta.
(agustus 19 ’06)

untuk semua akhwat IKRAMAL,
terima kasih telah menangis dan tertawa bersama
uhibbukifillah…. J

Sajak Ini


ditulis saat sepenggal matahari
merona di kaki langit
baurkan sepercik merah dan rindu
akan yang telah pergi
saat ceracau tak lagi menceracau pada hati
dan saat setiapnya tetap bertahan berdiri di sini
berdiri melukis langit dan lazuardi
(agustus 2 ’06)

Baru Saja


baru saja ia bercerita pada pagi
pada mulainya hari
bahwa kala itu masa sedang menanti
kini ia menuliskan beribu-ribu tapakan yng membuatnya benar-benar tenggelam
dan berenang dengan nyata
nyata yang baru saja ia mengerti wujudnya
yang buatnya merasa
untuk tetap berpijak pada bumi yang sama
katakanlah dengan lantang
bahwa ia benar-benar baru saja sadar pada mega-mega hitam yang mulai menggelayut pada kedua matanya.
(juli 21 ’06)

Malam Itu Tiba-Tiba

malam itu, tiba-tiba saja aku ingat pada sebuah perjumpaaan
dan tersenyum saat sadar bahwa kita telah lama jatuh cinta pada subuh dan embun di pucuk daun
dengan tergesa aku tuliskan banyak lamunan dan harap akan nyatanya
katanya,
kita jangan berdusta pada angin yang membawa benih-benih
angin yang menghempaskan dandelion di tanah baru tempat ia kembali merajut cerita
cerita tentang negeri dengan naga dan awan-awan
malam tu, tiba-tiba aku teringat pada sebuah pepisahan
saat kita berkta tanpa kata
walau kita sadar,
telah lama jatuh cinta pada nyanyi angin kala mentari datang.
(juli 11 ’06)

Ia Tertatih Menyeret Jejak


apa?
yang membuka pintu tak lagi bermakna
sesudah gerimis hapus buram kaca
kesalahan hidup tak mengikutinya
ia tertatih menyeret jejak yang terpekur diantara kubangan
ingatkan
bahwa akan datang masa saat
surya tak lagi punya sinar
selengkung pelangi patah
jatuh ke tanah
wajah tak lagi menengadah
kerena cahaya tak lagi di sana
ingatkan
bahwa hidup adalah saat ia masih punya harapan.
(juni 12 ’06)

Lapan-Dua


1/4
benar-benar datang tanpa diminta dan mengguncang cakrawala
hentakannya buatku berdecak
dan terdiam
yakinkan bahwa semua kenyataan telah tiba dengan teramat sempurna

2/4
seharusnya setiap sujud adalah hening
hingga dapat terasa dan terjamah
sudut kalbu yang mengering
walau harap selalu ternanti
mungkin ia tak hidup lagi

3/4
guratan itu telah jelas nampaknya
maka sadarlah sedikit saja
kerelasi harap dan nyata memang kadang tak cerah
tapi tetap ada kekuatan padanya

4/4
buatku berdecak dan terdiam
kenyataan telah tiba dengan amat sempurna.
(juni 1 ’06)