Minggu, 31 Januari 2010

Assalamu Alaykum, Pak Presiden!


Sebuah negeri menghampar memanjang di salah satu sisi bumi
Lautnya adalah kekayaan dengan ikan aneka warna dan terumbu karang
Langitnya adalah hamparan biru memantul-mantul pancarkan cahaya sang surya dengan teramat murah hati
Hutannya adalah deret pinus berdiri tegak menyapa langit dengan sahabat pepohonan lainnya yang mencipta harmoni dengan tiap gugur daun yang menyalami tanah
Tanahnya adalah susunan sempurna yang menumbuhkan, menjaga, mempersilakan setiap pijakan berdiri kokoh di atasnya

Sebuah negeri itu, kini ada di genggamanmu Pak!

Tapi, cobalah tengok manusianya...
Ada sekelompok anak tidur dengan perut membusung menahan perut menjerit meminta haknya
Di sudut lain orangtuanya sibuk memunguti tiap butir beras yang berjatuhan, yang bersisa di tanah
Atau sedang mengantri beberapa ribu rupiah dengan menaruhkan nyawa, terhimpit, terinjak diantara senyum sumringah bangga sang penyumbangnya
Seorang nenek didakwa karena tak tau lagi apa artinya keadilan
Sekelompok lelaki dibui sebab telah lupa untuk apa dicipta hukum dan undang-undang
Seorang ibu terpisah dari anaknya hanya karena curhat pada rekan di seberang
Rakyat kecil menangis nyeri, saksikan lapaknya dibongkar paksa seolah tak ada lagi nurani
Sementara tiap malam, ribuan manusia menyeka air mata, sebab selalu menyimpan tanya,
Apa lagi yang bisa membuatnya bertahan hidup, esoknya?
Assalamu alaykum, Pak Presiden!

Maaf jika ternyata kau memang hanyalah pemimpin di akhir jaman
Bukan seperti beliau yang memimpin ummat terbaik, namun tidur di bilik kecil, menempel di masjidnya
Menambal bajunya, dan menyiapkan tepungnya dengan tangannya

Kau juga bukan beliau yang tiap malamnya berjalan kaki mengintip hidup orang yang dipimpinnya

Kau juga bukan beliau yang menyiapkan minyak untuk sang papa yang menanti kelahiran anaknya

Kau tentunya bukan beliau yang memadamkan lampu untuk anaknya, karena lentera itu adalah milik negara

Assalamu alaykum, Pak Presiden!

Kau memang adalah pemimpin di akhir jaman
Tapi tak akan berubah takdir bahwa akan datang hari dimana harus kau bertanggung jawab atas banyak hal yang terjadi di negeri ini
Tentang lautnya, masihkan sebiru langitnya?
Tentang hutannya, masihkan hijau dari cakrawala?
Tentang tanahnya, masihkah gembur menumbuhkan?
Dan tentang manusia yang berjalan di atasnya,
Adakah mereka telah menganggapmu bersikap adil, ataukah lebih sering merasa sempit dan pilu di hati?
Assalamu alaykum, Pak Presiden!
Tetap kuharap, kantung yang menggantung di matamu adalah karena cemasmu pada bangsamu Juga cemasmu untuk dirimu
Sanggupkah kau lewati hari
Saat ditanyakan segalanya padamu
Bukan lagi di tempat dimana kebenaran adalah sejumlah rupiah yang dapat dibayarkan
Sebab tak dapat dibeli kejujuran tangan dan kaki yang kelak akan berkata
Telah kau buat apa untuk negeri kita

29 Januari 2010

sumber gambar: http://meisusilo.files.wordpress.com/2009/04/pemimpin-untuk-rakyat.jpg

Jumat, 22 Januari 2010

Sajak Permintaan Maaf


Tergugu kutatap sajakmu
Sebab lewat kata-kata itu
Terlintas betapa topeng ini terlampau tebal dipancangkan
Saat Dia dengan penuh kasihNya menutupi segala bercak-bercak hitam yang tersembunyi dalam jiwa
Dan menampakkan berkas-berkas cahaya redup yang kadang kau lihat nampak cerah

Maaf, ukhti
Jika saat bersamamu memang hanya itu yang bisa terucap
Untaian kata-kata indah yang tercomot dari otak yang hanya bisa merangkai huruf
Kadang kulirik dari kitab suci
Atau kucuri dengar dari perkataan Sang Nabi
Tapi ternyata,
Seringnya justru aku yang mengkhianati sajak itu sendiri

Maaf ukhti,
Jika saat maksiat memang tak berada kau di sini
Mungkin saat aku sendiri
Terlupa betapa tengah dilihat aku oleh Sang Maha Melihat
Telah tercatat oleh kedua sahabat karib di sisi kiri dan kanan
Namun tak nampak olehmu
Hingga binar-binar pengharapan nampak benderang dari matamu
Saat menatapku
Menatapku dengan topengku

Maaf ukhti,
Jika ternyata suatu hari telah kujerat awan-awan hitam dari langit dengan nuraniku sendiri
Kuciderai dengan lisan yang berkata kelam
Atau mengucap yang benar
Namun tak diteruskan, hanya hingga bibir saja

Maaf ukhti,
Jika bersamamu ternyata aku malu
Jika bersamamu kurasa bersalah diriku, kurasa kerdil pribadiku
Sebab kulihat
Itu amalmu
Sementara aku
Tidak sepertimu


”Saat seolah duduk di hadapan seseorang yang menyiramiku dengan ilmu, mengguncangkanku, mengingatkanku pada sajakmu tadi pagi. Meski kami tak pernah bertemu. Jazakallahu khair...”
23 Januari 2010


sumber gambar:

http://wicakz.multiply.com/photos/album/148/wicakz_photoworld_hunting_di_braga...

Kamis, 21 Januari 2010

Kata-Kata, Mari Sini Sebentar


Kata-kata, mari sini sebentar
Sulamkan dirimu menjelma sehelai sapu tangan
Resapkan tiap lelehan bening dari kedua pelupuk yang berair
Sehingga dapat kukantongi tangis
Dan kembali membuat segalanya mengembangkan seulas tawa dan memoles senyum pada bibirnya

Suatu hari,
Saat kutanggalkan pakaian perang
Dan mengucap ijin pada prajurit lainnya
Tapi, anggukan kalian, ukhti
Justru berbuah gores merah pada lembutan rasa di jiwa
Allah, jangan palingkan aku dengan episode penuh gemuruh yang semakin memperlihatkan wujudnya!

Kita telah bersama melihat sebuah pintu cahaya di penghujung sana
Melangkah pada jalan tanpa rerimbun bunga dan kupu-kupu
Tapi, telah nyata bahwa kita terpesona!

Namun, kulihat pula ada pintu paling tengah untuk memasukinya
Kugapai-gapai meski dengan nafas tersengal sebab ternyata kadang terasa sesak
Kadang tak tertahankan

Maka kata-kata,
Mari sini barang sebentar saja!
Tuntunlah jemari untuk membelai jiwanya sendiri
Untuk menyeka sedihnya pribadi
Karena dengannya aku akan terus bertahan
Hingga semuanya terlewatkan
Saat waktunya telah datang

"Mana senyumnya? Ayo, kuatkan wajah murung yang terpantul di kaca! Semuanya akan baik-baik saja, khan?"

21 Januari 2010

Selasa, 19 Januari 2010

Sebuah Mata Air, di Hatimu


Sudah sejak awal kita menikmati datangnya senja
Di sebuah sudut ruangan, di rumah Allah
Setiap Jum’at
Kita tunggu hadirnya dia yang datang dari tempat yang jauh
Habiskan masa diperjalanan untuk bertemu dengan kita, walau hanya sejenak, menghabiskan tanya di kepala-kepala yang berusaha menemukan tempatnya
Dan nuansa itulah yang memesona kita
Hingga berlanjutlah langkah kepada pertemuan-pertemuan selanjutnya
Tak peduli pada lidah yang kelu karena terbata mengeja ayat-ayat
Tak peduli pada kain kecil penutup kepala yang sesekali dihembus angin sore
Diterangi sinaran lembut dari mentari di ujung tugasnya

Ada sebuah mata air di hatimu
Saat kau sematkan namamu dengan mata air syurga itu
Sebuah kehangatan tercipta di sana
Mungkin setelah ditempa oleh panas membara, namun tak jua dapat menghanguskan,
Hingga dapat dengan tenang kau berucap,
Mengapa harus kau bertanya, tak percaya lagikah pada takdir Allah?”

Perjalanan suci kau lalui
Menuju tanah dambaan setiap hamba yang memasrahkan diri
Titip doa untuk semua harap yang hanya terhenti di ujung bibir,
Ceritamu,
Suatu hari seorang kakek tua menhadiahkan mushaf, lalu menghilang dalam satu kejapan mata
Mungkin itulah pertanda, bagimu, bagiku
Bahwa hanya dengan petunjuk itu, hidup inipun akan berlalu dengan lurus

Sebuah mata air bermula di hatimu
Mungkin kadang menjadi kering sebab memang tak ada yang mampu menjamin
Tapi ia akan tetap ada di sana
Menunggu musim berganti
Beku jelmakan hangatnya
Sendu jelmakan riangnya
Hadirkan kembali sinaran yang mengubah tangis menjadi tawa
Menyejukkan segenggam bara yang kadang sejenak ingin kita tanggalkan
Menyejukkan hatimu,
Mata air dari jannah,
Salsabila.


Untuk Kak Bet..., lunasmi nah...!
19 Januari 2010

Rabu, 06 Januari 2010

Mungkin, Lebih Baik jika Kau Tak di Sana


Aku pernah berpinta
Agar tak usah lagi jumpa dengan siapa yang tak berguna
Salain membuat lagi goresan luka baru di atas luka yang dulu ingin kau lihat

Karena itulah
Lebih baik jika kau tak di sana
Dan akhirnya tidak perlu kulihat seumur hidup
Sebab darimu aku belajar untuk tidak mengaucap kata tanpa makna
Sebab akan sakit akhirnya
Mungkin, dapat membunuh seseorang
Atau paling tidak membunuh sendiri pengucapnya

Lihatlah!
Aku telah berani menulisku
Aku telah berani menulismu
Kau yang tak pernah berpikir tentang itu

Mengapa pula harus habis tinta
Habis masa
Habis rasa
Habis kata
Habis segala yang mungkin lebih baik jika disimpan saja

Tapi kata ternyata belum habishabisnya
Sisakan aku yang hanya bisa menceracau
Ditertawakan oleh takdir

Ya, bukankah telah kau ajari untuk tak sembarangan mengucap?
Seharusnya akupun tahu untuk tak pula sembarangan berpinta
Doa yang telah beranjak dari kaki langit
Kini telah didengarNya
Mungkin sedang dikabulkanNya


6 Januari 2009

Ini puisi orang marah...
Ah, rupanya memang sama sekali tak indah!

Senin, 04 Januari 2010

Pada Akhirnya


Pada akhirnya, ukhti
Di tempat inilah kembali berpulang
Cerita tentang sebuah perjalanan panjang di jalan yang sepi
Katamu, sebab telah kupilih, maka haruslah kususuri

Perjalanan yang dimulai dengan sebuah senyuman dan berakhir dengan sedikit air mata perpisahan
Sayup-sayup kusembunyikan dari kornea hingga hanya membentuk selapis bening tak nampak di mata

Pada akhirnya, ukhti
Di sinilah lagi aku kembali
Sebab disinilah segalanya bermula
Saat cinta pertama kita ikrarkan bahkan hingga kita berharap nyawapun tercabut tetap dalam keteguhan di dalamnya

Pada sebuah malam saat kalian harus kembali membunyikan peluit kapal tanda akan segera berlayar
Dengan seorang awak baru dan harapan yang ingin disatukannya
Aku berdiri di ujung dermaga melihat dari kejauhan
Melambai tanda perpisahan sambil terus mengenang semua cerita tentang tawa dan air mata
Tentang jatuhnya kita, atau saat langkah terasa begitu gagah sebab telah terisi penuh ruhiyah

Aku berdiri di ujung dermaga menanti kapal yang lain datang
Naik ke atasnya dan menyusuri lautan sepi tempat banyak orang tenggelam dan banyak pula yang selamat
Tempat memantulnya birunya langit yang ingatkan kita pada hidup setelah kematian
Tempat terulang berbagai kisah yang diajarkan di kitab suci
Saat segerombolan fakir berlinang air matanya saat tak mampu ikut berjihad
Namun merekalah yang dibawa langsung oleh Allah menuju medan yang dijanjikan jannah

Aku memandang dari kapal yang berbeda sekarang, ukhti
Memandang sambil terus menyimpan harap
Suatu harap bahwa kita akan membuang sauh di tempat yang sama
Katamu,
Syurga namanya.



Ba’da muktamar my lovely forum...
Barakallahu fiik buat Kak Rezky, semoga dapat menjadi nakhoda yang sukses!
Buat semua akhwat yang masya Allah..., bagaimana saya bisa melupakan kenangan tiap detik bersama kalian?

Makassar, 4 Januari 2010

Jumat, 01 Januari 2010

Aku Ingin


Berdiri di bawah hujan dan menikmati rintiknya membasahi tiap jengkal kulit
Sambil menatap langit mendung yang tak tersalut oleh riuh cahaya lampu
Tapi nampak terang oleh kunang-kunang yang mengikuti arah aliran sungai bening yang mengalir di atas bumi
Juga di atas hati
Di sini, di dadaku.

Aku ingin
Menikmati rerimbun hutan
Tanpa asap-asap mengepul dari knalpot
Tapi dengan wangi melati atau segar kebun teh
Dengan kupu-kupu yang menari bersama tangkai-tangkai bunga
Sekedar menegaskan
Bahwa ia ada di sana
Karena ia sayangi
Karena ia cintai

Aku ingin
Duduk di atas bebatuan
Menikmati bau tanah dan warnanya yang menggelap
Bukan dengan gedung tinggi menjulang yang angkuh menghardik langit biru
Tapi dengan ulat-ulat di atas daun murbei
Yang menemaninya sepanjang hari
Mengatakan bahwa hidupnya ada di sana
Bahwa harinya akan berlalu bersamanya

Aku ingin
Menghirup udara segar sebagai hadiah dari dedaunan
Melihat matahari sebagai sebuah cahaya tunggal yang tak tergantikan
Dan bulan sebagai satu-satunya gemerlap di kala malam menutupkan siang.

Makassar, 1 Januari 2010