Senin, 20 Desember 2010

winter blue


dingin menusuk hingga percik terakhir menutup senja

saat diseka tiap jerit lara yang menggelantung dalam jiwa

dan dijenguk sepetak ruang hening

biru dan dingin



ada tanya yang menyeruak tiba-tiba diantara tiap noda hitam

ia menderit-derit pada sudut-sudut hati yang lebam

Allah, dapatkah aku masuk syurga?



lalu disekanya air mata yang menganak sungai dari kedua pelupuk

yah, it’s winter blue

(December, 20 ’10)



antara adzan Isya’

@masjid Nurul Iman Telkom

gambar di

sini

Minggu, 12 Desember 2010

seingatku, dulu


pernah ada waktu saat ukhuwah memeluk kita, erat
dan jarak antara kita melampaui kerinduan malam atas hadirnya bulan
atau seperti tanah kering disapa pucuk-pucuk hujan pertama dalam sebuah musim
dan kita menatapnya lewat beranda kecil di sebuah sudut
tempat sebelumnya berpasang mata juga menikmatinya di tempat itu

seingatku, dulu
kita sering saling menyeka air mata masing-masing
tapi tidak dengan sapu tangan atau jemari
tapi dengan hati dan tatap penuh arti
dan aku rindu

lalu kini
aku hanya mencoba kembali mengulang
sebuah salam perpisahan saat kulangkahkan kaki menuju medanku, meninggalkan kau dalam langkahmu
tapi kita telah sama-sama memaklumkan jiwa,
bahwa layaknya pertama kali kita memilih jalan ini
seperti itu pula akan terus berusaha kita susuri
hanya saja kadang ia bercabang
tapi tetap kita saling berjanji berjumpa di penghujungnya
di syurga, insya Allah

aku hanya melihat semburat cahaya dari matamu, ukhti
lalu jika kau bertanya mengapa aku ikut bahagia
maka kujawab;
sebab Allah yang mempertemukan kita
dan menyatukannya dalam dekap ukhuwah
maka berjanjilah akan menyimpan satu hamparan untuk kami dalam hatimu
karena juga selalu ada tempat dalam jiwa; yang ada namamu di sana.
(December 12, ’10)

buat ukhti Syifa satu kata saja, cukup untuk mentranslate senyum misteriusmu akhir-akhir ini ukh! ^_^

gambar: http://scienceblogs.com/neurotopia/coffee%20love.jpg

Selasa, 30 November 2010

semesta


di hari yang lalu

kening kita mengernyit sebab dalam beberapa saat saja, terik menyengat bisa berganti hujan deras

kau berkata,

”bumi makin tua, kawan”

tapi di langit siang ini

kulihat bersanding dengan misteri awan putih cerah

dengan gumpalan-gumpalan kelabu di atasnya

siang terlalu benderang, tapi suara gemuruh guntur menyambar-nyambar

sesekali nuansa mendung menyapa

tapi kita menjadi gerah dan menghapus berbiji keringat

mungkin

langit hanya menangkap uap-uap dari manusia yang berteduh di kolongnya

yang semakin senang untuk menggabung-gabungkan kelam dengan cahaya

menempatkan haq dan bathil dalam satu wadah

mencampurkan hitam dan putih hingga tak jelas kelabunya

tak perlulah kita menganggapnya adalah penyakit bagi negeri ini

sebab tanah kita terlampau luas untuk disusuri

sebab mungkin, semuanya bermula dari masing-masing diri

semesta hanya menjadi kaca

untuk memantulkan bayang kita yang sebenarnya

(November 30, ’10)

gambar: http://ddzihrina.files.wordpress.com/2008/10/mendung.jpg


Kamis, 18 November 2010

mimpi


diantara celah senja
sekali lagi ia memintaku untuk menikmati datangnya yang tak dapat dicegah
persis saat kita tak dapat memaksanya datang mendahului siang

adakah sebuah cerita lama yang belum sempat kau kisahkan?
saat kau menyeruakkan kata
lalu jatuh cinta pada tiap untai dedaunan yang menancap dengan rapi di tiap dahan
lalu berguguran satu persatu tanpa pernah saling menyalahkan
tanpa pernah merasa mengalahkan

sebuah perjumpaan lewat kata yang singkat
berlanjut dengan ribuan huruf yang mengantarkan kita merangkai suara satu persatu dan menitipkannya agar teringat hingga ke bawah sadar
kau bermimpi
lalu tersenyum, dan bercerita

jika nanti kita berjumpa
ingin kuwujudkan peristiwa seperti antara muhajirin dan anshar
saat tak ada lagi jeda antara tiap pandang kita
sebuah ikatan mengeratkannya
mengeratkan kata yang telah lama ada
mengeratkan jiwa yang terpaut jarak
mengeratkan hati yang kelak menjadi saksi

layaknya sebuah perjalanan panjang yang dilalui
lalu malaikat bertanya
”untuk apa kau menemuinya?”
lalu terjawablah sudah;
”sebab aku mencintainya karena Allah!”
(November 18 ’10)

untuk Ukhti Hilya,
semoga suatu saat kita bertemu, bukan lagi dalam mimpi saja! ^_^

gambar: http://www.impactlab.net/wp-content/uploads/2009/03/summer_dreams_2nd_by_dameonandmeagan.jpg

Rabu, 10 November 2010

Setelah Masa yang Panjang


Entah sejak kapan kita mulai bersepakat dalam diam. Untuk saling sahut-menyahut lewat untaian huruf yang tak pernah terpikirkan. Sementara masing-masing tak pernah benar-benar tahu tentang arah pembicaraan sore itu, meski telah ditemani secangkir teh dan sepotong senja. Persis seperti yang pernah menggantung di langit, di atas sebuah menara.

Setelah masa yang panjang, mungkin kita telah cukup lama saling mengucap nama dalam doa. Atau tetap saja terlalu enggan pada lisan kita, lalu cukup berkata-kata lewat hati saja. Tapi di sujud-sujud itu, di malam yang hening itu, bukankah tiap denting di dalam jiwa terdengar lebih jelas hentakannya. Yah, lebih jelas terdengar.

Entahlah.

Tapi selalu kubaca bahwa ada kau yang lain di dalam setiap sajakmu. Dan bahwa entah mengapa bayang-bayang malam telah bersepakat dengan cahaya untuk tetap tak beranjak dari sini. Dari hati.

Lalu jarak seolah tak lagi berarti. Setelah masa yang panjang ini, akankah kita akan bertemu lagi?

[absolutely GeJe. Selamat Menikmati]

gambar: http://www.google.com/imgres?imgurl=http://8th.blog.friendster.com/files/golden_sunset_by_snigglefritz.jpg&imgrefurl=http://8th.blog.friendster.com/2008/12/&usg=__ceHuVVRVj4WvP2rUlR4DZ1mPEaw=&h=1067&w=800&sz=321&hl=en&start=36&zoom=1&tbnid=4h29TkEVrmexIM:&tbnh=137&tbnw=103&prev=/images%3Fq%3Dsenja%26hl%3Den%26biw%3D1280%26bih%3D584%26gbv%3D2%26tbs%3Disch:10%2C953&itbs=1&iact=hc&vpx=318&vpy=63&dur=704&hovh=259&hovw=194&tx=93&ty=167&ei=LV7bTNv4II6lccG6qMMG&oei=JF7bTPHvB4LevwO4yOy4CA&esq=3&page=3&ndsp=20&ved=1t:429,r:1,s:36&biw=1280&bih=584

Minggu, 31 Oktober 2010

Lelaki Kelabu


terpaut dengan masa yang cukup jauh
hanya imaji yang mengantarkan pada sosokmu
saat menyusuri hutan dengan hentakan
atau waktu memanjati gunung
sekejap,
berpindah ke gunung seberang
seeokor kuda putih juga nampak di sana
memanggut-manggutkan diri pada tuannya

atau saat kau sedang berada di dalam ruang mungil
menderetkan huruf, lalu mulai mengeja
membenarkan tiap kata dari mulut-mulut kecil yang mengajar membaca
di masa depan
ayah bercerita,
”dia adalah seorang pria gagah perkasa, namun juga ilmuwan ulung yang luar biasa!”

terpaut dengan masa yang tak kembali
sekelompok anak kecil berbaris memegangi ujung sarung kotak-kotakmu
meminta koin-koin kecil untuk membeli kembang gula
sementara kelompok lain hanya berdiri malu-malu
kepala ditekuk, lalu memijiti betismu
sesekali tersenyum,
sesekali menguap menahan kantuk
di antara mereka, terselip aku

lelaki kelabu,
suatu malam hadir dalam mimpi ibu
duduk bersimpuh tenang dalam ruang dengan terang cahaya
syahdu dalam balutan kain putih, juga pancarkan sinarnya
saat terbangun,
ibu melantunkan doa
doa anak shaleh yang menembus langit, lalu mengalir padanya.
(Nov, 1 ’10)


untuk dua orang kakekku; lelaki kelabu yang seorang telah pergi jauh sebelum aku lahir yang seorang hanya ada di masa aku kecil
gambar: http://www.willowtreegifts.net/images/products/Grandfather.jpg

Senin, 25 Oktober 2010

Rabu, 13 Oktober 2010

Kunangkunang


jalan kita terserak oleh waktu
saat sinar siang memberi tahu
kau yang diseberang dahulu, masih saja di sana
sementara aku telah lama mencukupkan diri tanpa harus memaksa mengerti
bahwa tak ada dari kita yang akan mundur
sebagaimana tak satupun yang ingin maju lebih dahulu

tapi kau selalu merasa berpunya
aku pun memiliki hal yang sama
lalu tanpa sadar masing-masing kita memelihara kunang-kunang yang nampak benderang
tapi bukankah pekatnya kelam masih menjadi pemenang?

wahai kau...
sudikah kiranya pinjamkan seikat puisi
sebab ini aku
tak lagi punya kata untukmu.
(October, 13 ’10)

postingan GeJe di waktu sore, hehehehe...
gambar:http://remaja.suaramerdeka.com/wp-content/uploads/2010/01/kunang.jpg

Selasa, 12 Oktober 2010

Sekotak Teh di Kursi Taman


ia menatap akhir hari yang tertutup kemuning senja
sesekali menyisir alisnya yang berkerut sebab terkadang tidak sejalan ucap hati dan ilmu yang telah terpatri
hari ini telah jelas bahwa segala rencana tak selalu membersamai perjalanan ini

dari sebuah kursi taman yang menderit
ia menatap lelaki, menggenggam kotak merah muda
hari ini, tak jadi ia pindahkan ke tangan wanitanya

dalam sekotak teh yang sejuk
pandangi seorang bocah, memainkan jemari di atas tanah
sebab hari ini harta ayah tak cukup untuk mendudukkannya di bangku sekolah

sekotak teh di kursi taman
saksikan pemuda berjalan lelah
menggumam menyusun kata dalam jiwa
“ibu, tak sempat ragaku temukan tempatnya, esok kembali aku akan berusaha, lalu pulang dengan sepintal asa”

tapi hatinya belum jua temukan cahaya
hingga seorang panglima puisi berdiri di hadapan
ia bernasihat,
“sebab titah langit telah jelas, maka bersatulah dengan kehendakNya saja!”

(October, 12 ’10)
Baiklah, waktunya menjalankan plan B! Never give up.

Senin, 13 September 2010

Sebelum Hujan Berhenti


sebelum tetes hujan yang paling akhir
aku teringat pada sosok gadis kecil dengan sepotong kain segitiga putih menutupi kepalanya
berjalan melewati hujan dengan paying biru muda
melompati kubangan
lalu berhenti sejenak mengulurkan tangan,
“hujan, jangan berhenti sekarang”

dan hujan turun bersama sajak yang berhamburan
membawa berbagai cerita tentang perjumpaan
saat subuh, dengan senyum pertamanya
diberanda masjid, saat ia palingkan wajah
juga lewat untaian kata, saat ia tertegun, mengetahui namanya disebut dalam sebuah doa, dengan air mata.

sebelum hujan terhenti
dalam sebuah bulan suci
ia tiba-tiba disergap rasa takut untuk kembali
lalu bagaimana dengan hutangnya?
bagaimana dengan janjinya?
bagaimana dengan ilmu dan segala laku yang beraroma khilaf?
bagaiamana dengan semua yang sepatutnya nanti akan dipertanyakan?
akankah sanggung ia jawab tanpa terbata?
entahlah

dalam sebuah perjalanan panjang
dititipkannya pesan pada sajak
“sampaikanlah berita pada seorang kawan, jika aku tiba-tiba pergi, mohon tengadahkanlah tanganmu ke langit, mohonkan untukku doa, agar langkah ini tak terlampau berat terasa.”

dan hujan pun pada akhirnya akan terhenti
layaknya juga semua perjalanan dengan tujuannya
serta hidup yang akan ditutup
tanpa pernah kita tahu
kapan tiba masanya.
(September, 12 ’10)

*puisi ke-111, alhamdulillah...

gambar:http://static.desktopnexus.com/thumbnails/57522-bigthumbnail.jpg

Rabu, 25 Agustus 2010

Sebenarnya, Aku Hanya Rindu


pada sebuah perjumpaan hangat di pagi hari
saat sinaran mentari menemani langkah cepat kita
menapaki satu demi satu anak tangga
sedikit terengah melepaskan tali sepatu dengan sekali hentakan
lalu berlari dengan senyum yang telah siap di sunggingkan
"assalamu alaikum, saudariku!"

aku hanya rindu
untuk duduk-duduk di beranda
menatap sepotong langit biru
di kali lain ia terlihat kelam
lalu kita ulurkan tangan
menyambut bulir-bulir hujan yang turun satu-satu
yang lain tetap duduk beralas sarung kotak-kotak
selanjutnya ia memanggil,
"majelisnya akan dimulai sebentar lagi!"

aku hanya rindu
menarikan jemari pada selembar kain pemisah berwarna biru
terbentang dengan teguh
bersama lemari kayu
bersama lipatan mukenah itu
bersama lantai-lantai yang sejuk
sang hijab menjadi saksi
dulu kita berkumpul di sana
kini kita berkunjung kembali
suatu saat,
di tempat yang lebih baik kita bertemu lagi.
(Agustus, 26 '10))

Minggu, 22 Agustus 2010

ada yang sedang jatuh cinta


di sudut sana
ada yang sedang jatuh cinta
memancar-mancar benderang dari tutur katanya
terlihat dengan jelas lewat goresan pena

sementara itu
hati yang lainnya telah lama jatuhnya
sekarang,
ia memilih untuk diam dan menyimpannya hingga tak ada yang mampu mengendus
sesekali ia bisikkan pada kata-kata
kata-kata bersembunyi dalam rangkaian sajak
sementara sajak terlalu sejati untuk berdusta
disimpannya semua rahasia
disimpannya semua rasa

di sudut sana
ada yang sedang jatuh cinta
dik, kemari sebentar
kunasihatkan untuk tak terlalu lama berdiam di sana
sebab kata orang
yang kau alami memang bukanlah jatuh yang sakit rasanya
tapi bagaimanapun ia,
di dunia ini tak ada yang abadi, bukan?
(Agustus, 22 ’10)

Kamis, 15 Juli 2010

Tuntaskan!


ada yang tiba-tiba hadir sebagai sebuah kepingan
menggeliatkan bulir-bulir keringat dan luapan panas dari dalam raga, dari dalam jiwa
saat sajak ternyata dapat menyingkap tabir yang tercipta oleh ruang
maka tetap rasanya salah meski kita masih saja tak saling memandang

maaf, sebab semakin kumasuki maknanya
maka semakin kusadari bahwa kita terasa tidak menaungi langit yang sama
bahwa mungkin selalu akan ada permata-permata yang akan bersinar dengan tepat saat kau gunakan
sebab semakin rendah aku merunduk
maka semakin kelu lidah ini merapal sajakmu

bila ternyata angin masih tetap berhembus pada arahnya
dan bintang tak ingkari janjinya pada rembulan
maka memang sajak ini harus segera dituntaskan
dan tak usah lagi berharap akan membingkainya suatu saat.
(July, 15 ’10)

gambar:http://johnniecraig.files.wordpress.com/2009/11/the-end-by-nomeacuerdo-en-modo-chnacho-zombie-cc.jpg

Sajak Berkata


di suatu malam
sebelum kulahirkan ia,
sajak berkata
'aku ini bukan tembok ratapan,
cobalah tuliskan tentang senyum, tentang cahaya yg menyeruak dari celah, atau tentang merekahnya bunga-bunga!'

maka maaf, sajak
sebab tibatiba tinta menjadi kering seketika
atau aku yg selalu luput memaknai tawa

Minggu, 11 Juli 2010

Saat Kau Pergi, Dinda


mungkin ini akan menjadi sajak yang kelam
meski mentari tadi pagi tak mengisyaratkan apa-apa tentang kepergianmu
dari perpisahan kita yang sementara dahulu
hingga perpisahan abadi kita kini
meski harapku adalah
perjumpaan kita dahulu dalam taman syurga adalah sebuah janji
untuk kembali berjumpa di syurganya nanti

mengapa harus seperti ini diingatkan diriku?
tentang sujud yang pendek
atau lisan yang mengering
dan lantunan ayat suci yang tak lagi mengalun

mengapa harus seperti ini diingatkan diriku,
dengan kepergianmu.

teruntuk adikku Kalsum Amalia
berpulang kepada Allah hari ini,
Ahad, 11 Juli 2010
Semoga diampuni dosanya, diterima amalnya, dan dilapangkan kuburnya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.


gambar:http://youknowwhereyouare.com/wp-content/uploads/2008/10/dandelion-300x288.jpg

Jumat, 02 Juli 2010

perempuan dengan sisa tissue di pipi kanannya


ia berjalan menyusuri hari yang akan segera menangkupkan diri
sisa-sisa jingga di langit telah menegaskannya
dan membawa imaji pada pengembaraan panjang
saat ia belajar tentang arti banyak hal

perempuan dengan sisa tissue di pipi kanannya
merundukkan wajah pada hampar angka-angka
belajar mencari makna teriknya siang
belajar untuk menjawab takdir dengan senyuman

dalam lamunan,
ibu berkata
agar ia berhenti saja
berhenti mengurai kata
berhenti menggoreskan pena
berhenti untuk menyusuri jalan panjang yang entah ada di mana ujungnya

tapi, perempuan dengan sisa tissue di pipi kanannya menjawab,
ibu, di sana jiwaku!
lalu sebutir keringat menyusuri pipinya,
meminta untuk diusap
tapi, bukan!
ternyata, itu air mata!
(July, 2 2010)

Minggu, 27 Juni 2010

Alasan


mentari masih bersinar mengantarkan cahayanya
meski tak pernah kita tahu sampai berapa lama hingga ia tergantikan lagi oleh awan tebal, kelam menutupi langit dunia

maka seperti itulah,
saat sakit itu tak terbatas pada lorong-lorong putih rumah sakit
juga tidak pada wajah dan mata sembab oleh duka

ia juga mungkin hadir di sudut-sudut kamar
bermain melingkupi tawa yang seolah ceria
dan tatap mata penuh harapan
sebab tak semua duka harus dikatakan
dan senyum tak harus berarti tenangnya jiwa

aku tak hadir di sana
tapi tak kuharap juga sebuah doa
cukup kau mencari saja alasan
untuk tak mengerutkan kening
sebab langkah ini sungguh berat!
sungguh berat!
(June, 27 2010)

gambar: http://images.nymag.com/health/besthospitals/hospital061113_3_560.jpg

Sabtu, 26 Juni 2010

Dapat AWARD!


Alhamdulillah..., beberapa hari yang lalu saya dapat sebuah award manis dari ukhti Haniyah... Dan setelah cukup lama mendekam tanpa saya apa-apakan, akhirnya award ini bisa saya muat, untuk selanjutnya saya persembahkan kepada blogger lain sesuai dengan peraturannya! Nah, ini dia 4 hal yang harus dijawab oleh SEMUA penerima AWARD ini:

1. Thank and link the person that gave you the award.
jawab:
Jazakillah khair buat Ukhti Haniyah..., sudahmi saya pasang link-ta sejak dahulu kala toh...? Baiklah..

2. Pass this award to 15 bloggers you’ve recently discovered and think are fantastic
jawab:
Hmm..., berhubung blogger yang saya kenal ndak sampai 15, dan beberapa yang sata tau sudah dapat award duluan dari haniyah..., maka untuk award ini, dengan bangga saya persembahkan kepada dua orang yang beruntung, yaitu blognya ukhti HILYA (http://http://al-aina.blogspot.com/) dan blog http://www.nurul-rizqi.blogspot.com/
semoga berkenan yah...


3. Contact said Blogs and let them know they’ve won the award
jawab: yup, sedang dalam proses!

4. State 7 things about yourself.
jawab:
1. perempuan
2. kacamata
3. buku
4. biru
5. menulis
6. puisi
7. ... (kehabisan kata-kata)




Senin, 31 Mei 2010

Percikan Hati


Biarlah dinding dan tembok itu yang jadi saksi, kawan.
saat kau ceritakan padaku tentangnya yang merindu bau syurga
yang ingin bersegera tinggalkan dunia

maka kukatakan,
langkahnya adalah sebuah pikiran panjang yang sulit kau patahkan
sebab mungkin ia terlampau khawatir saat hari itu tiba
lalu ditanyakan padanya tentang ilmu,
tentang jasad,
tentang hati yang telah tergerak

tak usah kau tahan ia tiba di sana
sebab takdir adalah saat telah terjadi di depan mata
dan mungkin,
takdirnya adalah bidadari bermata jeli
dan tekdirmu adalah lelaki dengan awan teduh di kedua korneanya

biarlah waktu yang menjawab
dan biarlah dia bersiap di perbatasan
hingga tuntas citanya
hingga terbit senyum terakhirnya,

ucapkan padanya pesan dariku,
"pemuda, berangkatlah.
jika syahid kau temukan
sampaikan salamku pada bidadari syurga"


dan izinkan saja langit sore serta bulir hujan ini yang menyaksikan
saat kau bertanya,
"lalu apa yang harus kujawab?"

maka diamlah sejenak,
sebab akan kubagi caranya untuk memilih,
sebab hartanya,
nasabnya,
parasnya,
lalu imannya

maka lihatlah dengan hati yang hening
hingga kau temukan jawab yang berpendar
ingatkan pada masa depan yang tertutup selubung tanya

tapi tenanglah, sebab akan terjadi yang terbaik untuk semua
kau percaya?
maka, percayalah...

"buat dua orang kawan yang telah percaya buat curhat sama saya... maaf yah, saya terlalu teoritis, tapi semoga bermanfaat, semoga ditunjukkan jalan yang terbaik. ^__^"

gambar: http://middlezonemusings.com/wp-content/uploads/2008/02/love-letters.JPG

Jumat, 28 Mei 2010

Dan Bila Cinta


Dan bila cinta datang mengetuk sebuah hati
Mungkin kadang terlalu riuh kita dengan segala hiruk pikuk diri
Sehingga ketuknya menjadi sebuah suara tertahan
Atau tergantikan dengan semu yang segera berganti kelam

Dan bila cinta adalah sebuah perjalanan
Awalnya kadang tak sempat dinyana
Hingga tiba pada akhirnya
Saat tangan-tangan tua saling menghangatkan pada musim beku
Dan merubuhkan segala teori tentang setia
Sebab ia biarkan waktu yang menjawabnya

Dan bila cinta adalah sebuah senyuman
Tak apalah jika diantaranya ada air mata
Tapi tetap ia bukan sekedar canda
Sebab tertawa terkadang mematikan jiwa
Berhentilah, dan cukup tersenyumlah.

Dan bila cinta adalah abadi
Maka lihatlah bahwa maut akan menghentikan semua ini
Dan menjawab tanya kepada siapa seharusnya kita berpaling
Dan bila itulah cinta
Ya, semoga cinta padaNya saja
KarenaNya saja
(May, 28 2010)

Jumat, 21 Mei 2010

Di Sini


Sebuah sajak mungkin telah tercipta
Dan mengeutuk-ngetuk ujung jemari untuk menuliskannya
Tapi apa daya jika ternyata terasa begitu cepat masa berganti
Dari mentari pagi yang menguning menyapa embun-embun di dedaun rimbun
Berganti malam yang menutupkan diri dengan kelam dan semburat air hujan sisa gerimis tadi sore

Aku ingin tetap di sini

Tidak beranjak meski telah diterpa musim dingin yang mencekam apa yang pernah terucap oleh lisan dan teryakini oleh kalbu

Aku tak ingin beranjak
Hingga nanti bertemu dengan asa yang membumbung tinggi ke langit
Hingga nanti tiba saatnya berisirahat, saat kau temukan, aku masih di sini.
(May, 21 2010)

gambar:https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ-n_OwjlVyX_c9dEjB22ZJ44q612IecSZybmlZqczl_pjXtphO78AwHpMRZIRF3x1EupokC3ybTa5_ZiRyEbQb6da4lflgfCAy09-ZrbbKL9wOjD3BQoQWfdXIbBzeuqPxPPygxbN8i0/s400/masjid_tsunami.jpg

Senin, 03 Mei 2010

Lelah


genggaman terlepas dari tangan
saat terseret langkah yang tertatih saat menapak pada matahari sore
kuizinkan saja sajak menuai lelah
tak peduli pada mereka yang tak sampai padanya
atau yang berkerut keningnya
sebab ini memang untuk dimaknai sendiri
bukan untuk menerka perasaan siapa-siapa

maaf, ukhti
aku mungkin hanya lelah pada urusan-urusan panjang di kala siang
juga pada semua tenggat yang menghimpit ubun-ubun hingga lelah terbawa ke malamnya
bukan segalanya sibuk pada apa yang bersinar cahaya
namun kadang tak lebih sebagai apa yang hanya terhenti pada lisan saja

tapi mungkin masih cukup kuat aku untuk bertahan
maka tunggu saja aku di sana hingga aku menyusulmu datang
semoga masih cukup kuat aku untuk bertahan
bertahan untuk kecewa
bertahan untuk sadar bahwa ini memang bukan jalan yang mudah!
(May, 3 ’10)

Jumat, 16 April 2010

Perjalanan 2


Menyusuri jalan dalam gelap
Membawa pada jiwa yang sempat meredup sebab merasa ingin meraih hingar-bingar yang dahulu sepakat ia tinggal
Lalu bertanya pada dirinya sendiri dengan segala prasangka dan mempersalahkan jalan yang telah ia susuri
Tapi mengapa?
Jika ternyata tanpa sadar memang telah tertutup beberapa jalan yang disesaki manusia
Berhiaskan dengan tepukan tangan bangga
Diukur dengan angka-angka
Juga dengan sorot lampu yang membumbungkan diri hingga tak lagi menapak pada tanah
Tapi untuk apa?
Jika ternyata tanpa sadar semuanya telah tergantikan dengan apa yang ada di hadapan
Segala yang nyatanya adalah yang terbaik jika kita percaya
Dan memaksa diri untuk mengelus sendiri hatinya dengan lembut
Inilah yang ada sekarang
Maka inilah yang seharusnya diterima
Maka tataplah pantulan pada kaca di sana
Sudahkah ia tersenyum menatap wajahnya
Sebab memang inilah yang ia punya!

Mengajak untuk selalu bersyukur
Hey, jangan Cuma lihat rumput tetangga
!”


Kamis, 15 April 2010

Saat Cahaya Kini Terpisah


Tidak usah seharusnya aku mengaku sebagai adik!
Jika ternyata air matamu tak sanggup kuseka
Dan tak kudengar perciknya saat jatuh ke tanah
Saat kita bercerita tentang jalan cinta yang terkadang tak sesuai dengan nuansa yang kita pinta
Dan mengapa harus kau yang melaluinya?

Dan aku tidak ingin lagi berucap tentang dandelion
Tidak juga tentang warna langit
Atau semua kenangan yang disaksikan oleh tembok-tembok bisu tempat kau pertama kali mengenalkan aku pada senja di beranda itu
Sebab kau tuntun untuk lalui siang dalam sebuah lingkaran tempat sayap malaikat dinaungkan
Dan saat dosa-dosa diampunkan

Ini bukan hanya tentangmu
Tapi tentang sebuah perjalanan panjang yang kau mulai bersama langkah mantap yang lain
Juga tentang langkah setelahmu yang sesekali melongok ke depan, memastikanmu masih ada di sana
Bahwa bukan di sini tempat kita menyerah
Meski awan-awan itu telah menjadi saksi sebuah perjumpaan yang sejatinya adalah ketukan awal pengingat perpisahan
Meski untuk jiwa yang paling tidak ingin sekalipun
Sebab bukan kita penentu rangkai kisah dalam langkah ini
Tapi tak jujurlah diri jika tidak berkaca mataku, saat kusadar mungkin ini adalah akhir dari pertemuan awal itu.

Kak,
Maaf untuk raga yang tak ada saat kau butuh
Dan jemari yang tak datang saat air matamu jatuh
Juga hati yang tak sadar pada usikan saat hatimu beku
Tapi adalah kita yang telah tertanam sekat-sekat cahaya pada jiwanya
Cahaya itu berkata,
Mungkin, kita saja yang belum melihat pelangi
Sehabis tersaput hujan
Lalu terlalu tergesa mengutuki mendung
Yang akan segera berganti cerah
Semoga.

Untuk Kak Aisyah… Uhubbikifillah!

Minggu, 21 Maret 2010

Bukan Kau


biarkan saja kutuliskan segaris huruf yang bersembunyi
dari seonggok hati di dalam diri yang berharap itu bukan kau!
bukan kau!

tapi ternyata memang segala angin yang berhembus dan berucap bahwa bukan lagi ceritamu yang tertulis di sana
bukan lagi langkahmu yang akan menapak jejak
tapi salahkah jika aku terus meminta dengan mengetuk nurani dan menguat-nguatkan hati
kelak kau akan kembali di sini

ini bukan cerita tentang sajak-sajak cinta yang diuntai oleh mereka yang sedang merah muda hatinya
tapi oleh apa yang dibisikkan desir-desir halus yang ingatkan bahwa dahulu ada masa dengan cerita namamu di sana

dan biarkan saja kutuliskan garis-garis huruf
seolah seperti saat Rasulullah menengadahkan tangan
berdoa agar pamannya berucap tauhid
tapi ternyata Allah-lah yang memilih, bukan?
dan inipun bukan lagi tentang siang yang dilalui dalam lingkaran penuh berkah itu
kita sadari, saat itu
tapi entah, kini
sebab telah pergi satu per satu
jiwa-jiwa yang dulu bersama menatap cahaya
dan jiwamupun ikut pergi
seolah mengulang kembali bulir-bulir air matanya
dulu, tiga tahun yang lalu!
(maret, 21’10)

untuk seorang ukhti yang saya rindukan,
kenapa justru saya berharap itu bukan kau?

Kamis, 18 Maret 2010

Untuk Apa?


jika terulang kembali pertanyaanmu tentang pengorbanan
adakah selalu berarti rasa sesak yang menyeruak di dada
hingga degupnya terdengar dengan jelas
terlebih saat kita rasa sunyi
di jalan yang sepi ini

lalu untuk apa
kita tetap ada dan meniti di sini
jika bukan untuk memeras peluh menantang matahari
jika bukan untuk menahan air mata sebab terasa asingnya diri
jika bukan untuk melupakan sejenak segala hingar bingar lampu-lampu kota
dan terlarut dalam malam-malam penuh angan tentang sebuah asa yang sering dianggap tak akan sampai ke sana

lalu untuk apa
kuulurkan tangan padamu yang kini menjauh
jika bukan karena kuingat jejakmu yang dulu di hadapanku
jika bukan karena kutahu cita itu masih membekas di dadamu
jika bukan karena kuingin kita bersama mengakhiri ini,
sebab bersama dahulu kita memulai
langkah awal berat itu,
sebab kita perindu syurga, katamu.

tapi bukankah tidak di sini tempatnya berhenti?
(maret, 18 ’10)

untuk semua akhwat yang selalu saya rindukan;
telah kosong satu lagi bata
bukankah kita ingin bangunan ini kokoh suatu masa?


Senin, 15 Maret 2010

Jejak


sebuah jejak mengantarkan kita pada kisah berulang
dituturkan dari masa ke masa
tak akan pernah lekang
sebab abadi
dalam kitab suci

seekor burung terbang melayang di atasnya
tak sanggup
sebab api telah berkobar panas
hendak membakar seseorang
dan tauhid yang ia bawa
adalah ia mengucap pasrah
menolak uluran malaikat
dan mencukupkan dengan Allah saja!
:Ibrahim.

sekelompok saudara diredam api dalam dada
dibuangnya sang adik dalam sumur dalam
menyenandungkan dzikir di gelap pekat
berhenti ikan-ikan berenang
berhenti segala suara alam
dzikir saja, ya Rabb
maka selamatlah ia.
: Yusuf

dalam tiga gelap ia terperangkap
pekatnya malam
kelamnya dasar samudra
di perut paus itu, tak ada cahaya
maka jika bukan karena rahmatNya
maka disanalah ia hingga akhir dunia
:Yunus

jejak-jejak rangkaikan kita pada seberkas cahaya
mungkin bukan karena terhalang panasnya api untuk Ibrahim
bukan pula dalamnya sumur di kisah Yusuf
tidak juga dengan kelam berlapis milik Yunus
tapi oleh tirai yang kita buat sendiri

koyaklah!
dan temukan bahwa memang selalu ada harapan
sebab itulah hidup, sejatinya.
(maret, 16 ’10)

gambar:http://kholilahpunya.files.wordpress.com/2009/05/jejak-kaki.jpg

Rabu, 10 Maret 2010

Bayang-Bayang


mungkin selalu ada yang dititipkan langit mendung pada untai hujan yang turun rintik
pun dengan mentari yang mengabari lewat sinar senjanya saat hendak ia beranjak dari langit

hingga pena tak juga kering meski nyata mengukir pada pasir yang sejenak tersaput air laut
dialah ombak yang datang mengingatkan tentang pertemuan paling mustahil bahkan di saat yang paling mungkin terjadi sekalipun

lalu aku terduduk meringis menikmati luka yang kucipta sendiri lewat sepintal doa dan sekeranjang pahit yang sementara
dulu, saat kau ajari aku bagaimana rasa sakit yang sebenarnya

tapi telah datang diam-diam angin siang yang mengetuk jendela
ingatkan aku pada masa depan yang selalu kurisaukan dan masa lalu tempatku tak mampu beranjak
juga tentang suatu masa,
saat nanti bayang-bayang datang
dan kembali kau ajari aku bagaimana meneteskan air mata.
(maret, 10 ’10)

Senin, 08 Maret 2010

Perjalanan


senja belum lagi sempurna merekah jingga
saat kukatupkan bibir rapat-rapat menahan langkah yang terseret oleh masa yang tak ingin menunggu barang sebentar saja
lalu memulai kembali perjalanan yang membelah hari-hari dengan caranya sendiri

di sudut sebuah jalan,
berdiri seorang lelaki tua dengan deret daun-daun yang tidak kumengerti maknanya
mungkin ia sedang mengais rejeki untuk anak dan istri di rumah
sambil berharap seseorang menghentikan kendara

di satu sisi yang lain
menara sayup-sayup memantul-mantulkan seruannya kepada langit
sementara mereka masih terlelap dalam istirah siang masing-masing
seolah lupa bahwa seorang kawan telah bernasihat,
bukan di sini tempatnya
nanti saja, di syurga.

lalu di suatu titik
anak-anak bersenda gurau dengan senyum manis
berteriak tentang mainan warna-warni atau sejumput manisan yang lambungkan harapnya sore itu
sebab esok baginya adalah cahaya bersinar-sinar yang belum pasti datangnya
sementara kau terlampau sibuk merangkai imaji
seolah telah tahu di mana nanti umur akan terhenti

dalam sebuah perjalanan panjang
jiwa jiwa hanya terdiam menyusuri jalan
tapi mataku telah terlampau lelah bergumul dengan masa
aku akan segera tiba di sana
ke rumah tempat aku pulang
(maret, 9 ’10)


Jumat, 05 Maret 2010

Dik, Aku Tunggu di Sini


sebuah kisah dari langit menghamparkan dan mengabarkan kita pada jalan penuh cahaya
tentang malaikat yang merendahkan sayapnya pada sebuah taman beraroma nirwana
banyak yang telah tertegun di sana dan memandang wajah di hadapannya sebagai yang tak tergantikan
sebab telah ia tuntun kita menuju langkah berat namun menyisa senyum meski dalam masa sesulit apapun

lalu saat telah dipilihkanNya
seorang hamba nista berbalut dosa untuk duduk di hadapan kalian
menguntai kembali benang-benang yang dulu pernah dirajutkan untuknya
maaf, jika ternyata belum kalian rasa lembutnya dan belum tersentuh jiwa

tapi ternyata telah terhapus semua alasan
sebab risalah ini tak akan sampai pada kita
jika dulu Sang Nabi memilih berhenti
saat dicaci maki di depan wajahnya
saat dilempar batu tubuh mulianya
saat ada kotoran unta di atas sujudnya
saat nyaris melayang jiwanya
namun beliau tetap bertahan, bukan?

dan belum satupun laku itu kau timpakan padaku, dik
karenanya
aku masih menunggumu di sini.

untuk Iffah, Halijah, Faizah, Mutmainnah, dan Subaeda. ^__^

Sabtu, 06 Februari 2010

jariyah

karena pintamu yang mengetuk langit, ibu
bukan tentang masa depan dengan harta
bukan juga dengan elok rupa
atau dengan cerdasnya pikiran
tapi agar hidupku adalah semburat cahaya iman

maka langkahku hari ini
setiap sinar-sinar hati yang menyemburat meski kadang dihadang pekat
tapi semuanya itu untukmu
agar aku menjadi apa yang disabdakan Rasul dengan khabarnya
seorang yang mengalirkan benderang untuk kuburmu kelak
dari sebuah doa
dari sebuah pinta
sebab tercatat untukmu sebagai amal jariyah

ini aku,
semoga telah menjadi seperti maumu
(Februari, 7 ’10)

Menunggu;Menjaga



maka jika sajak ini tak sampai padanya...
....
....

sebuah dermaga tercipta untuk penantian
juga cerita tentang berpamitnya matahari senja pada camar-camar
seseorang juga menunggu di ujungnya
mengingat kembali bayang-bayang sambil menyongsong malam
menatap langit yang pantulkan gemerlap bintang yang beradu dengan cahaya lampu
menerpa wajahnya yang sendu
menyampaikan salam dari bait-bait doa dalam sujud dengan pinta yang tak putus putus
suatu hari, mereka akan bertemu

di salah satu sudut, banyak bibir yang mengucap cinta bersama bunga dan jumpa yang tak seharusnya
jika mereka lalui malam yang dikutuki langit kelam
maka benih yang lahir darinya kelak akan berakhir di gang-gang sempit atau kanal-kanal kotor, dibungkus plastik lusuh
kelak akan menjadi saksi bisu
hasil cinta bernama nafsu

dan jika mereka sampai pada janji suci
maka akan menguap seketika segala kata indah
sebab sejak awal memang hanya semu yang dipuja
setelah lewat masa
maka lenyap pula semua!

maka sebab itulah,
seseorang itu masih di sana
menemani dermaga menanti matahati pagi
sambil mengucap pinta untuk sebuah jumpa

ia menunggu, karena tak ingin ia beranjak, tinggalkan bingkai keanggunan yang telah ada sejak ia dicipta

ia menjaga, sebab tak banyak lagi yang peduli pada warna awan dan sebab suci seolah tak lagi punya arti

dan sebuah sajak telah tercipta, tanpa sebuah nama penerima
maka jika sajak ini tak sampai padanya
akan tetap berdengung sebuah tanya,
tentang menunggu dan menjaganya
mengapa kau tetap bertahan?
katanya,
sebab beginilah adanya
karena
aku
adalah
wanita.
(Februari, 6 ’10)


Jumat, 05 Februari 2010

Al Firdaus

dikabarkan tentang langit yang bersusun
tiap lantainya adalah karunia yang tercipta bagi mereka yang kembali sebagai jiwa yang tenang
disambut dengan wangi yang berhembus sepanjang pagi dan petang
untuk mereka yang semasa hidupnya mungkin berkubang
diacuhkan dalam keterasingan
namun tetap menyunggingkan cahaya pada wajahnya
meneguhkan langkah, memilih untuk menyusurinya saja

indahnya tak tertangkap oleh mata
tempat istirahat sempurna, tempat kembalinya diri di kampung halaman abadi
sebuah tingkatan tertinggi menggelantung sempurna
bagi mereka yang merindu wajah Tuhannya
sebab dahulu, tak lelah mereka bersujud
tak lelah mereka meminta
sebab Sang Rasul telah meninggalkan pesannya
mintalah tingkatannya yang paling sempurna
paling tertinggi
surga Firdaus, namanya.

tapi malu rasanya jika ditataplah sebuah wajah di cermin
sebab beningnya memantulkan sesosok siluet kelam berlumur salah
siluet menjelma ia yang banyak khilafnya
ia yang terlampau banyak alpa
tapi tetap mendamba tingkatan paling sempurna
surga Firdaus, namanya

tapi, jangan terlampau tergesa
biar kita di sini saja
di Firdaus yang di depan mata
menyulam bekal untuk dibawa pulang
semoga dapat membawanya peroleh rahmat
untuk ditukar dengan Firdaus sejatinya
(February, 5 2010)

buat akhwat Al Firdaus...semangat dakwah bil qalam! Rinduku terbawa pada malam2 mabit itu...

Kamis, 04 Februari 2010

di persimpangan jalan


ada bunga mawar yang merah
kupetik untuk bunda di rumah

alunan yang disertai kerikil
aku tak mampu untuk tetap membatu
saat senjamu datang dan kau tersenyum
katamu, kau tetap hidup

sekuntum bunga-bunga yang menyapa sinar mentari membentuk wajahmu
dan hadirnya menjelma angin yang mengalir ke paru-paru mencipta nuansa gerimis senja di salah satu ufuk
gerimis itu, mengeja kembali katamu:
”kasihku adalah sinar surya yang tak habishabis meski dirundung pekat”
dan dari sana kutengok hatiku, dan semakin yakin bahwa tak akan terbayarkan utangku padamu

ibu, sebuah syair bercerita kisahmu
segenggam sajak ucapkan kata-kata rindu
puisi-puisi berbaris memasrahkan diri dan menari di sekelilingmu
tapi kata-kata rupanya tak mampu gambarkan semua itu

sebab musim bunga di matamu adalah niscaya
bahwa keberadaanku di sana bukanlah pilihan
tapi suratan yang telah digores kalam bahkan sebelum bumi tercipta

biar saja waktu berganti
dan hari berlalu disusul masa yang lain
tapi tetap tak akan berubah, khan?
kau tetap berdiri di sana
menunjukkan pintu syurga yang paling tengah
dengan doa yang terpanjat setelah pertemuan agung dengan Allah

ibu, betapa tiap persimpangan itu,
kucoba bawakan bunga mawar itu untukmu
teruntuk : bundaku


(pertama kali di tulis pada 30 september 2004, ditulis ulang dengan beberapa perbaikan pada 5 februari 2010)


Rabu, 03 Februari 2010

Senandung Masa Lalu



Ada yang datang tiba-tiba
Saat diputarkan kembali senandung masa lalu
Yang membawa kita pada kerlip hijau
Tak lama saat kita perkenalkan diri pada dunia
Dengan sepecah tangis dan sebuah nama

Tak banyak yang kita mengerti saat itu
Selain seputar permen dan ayunan di taman
Yang menderit manja kala disapa angin
Dan terdiam sedih saat menyambut hujan

Lalu diantarkannya kita hingga seolah begitu cepat berlalu semua
Aku dengan hidupku
Dan kau bersama takdirmu

Tapi, tak banyak yang berubah
Tentang alis tebal itu
Atau seyum lucu yang terkulum saat kita kembali bertemu
Juga tangis yang tersembunyi di matamu
Saat rembulan antarkan aku menuju jumpa kita di kelam yang sendu
Dan dengan lirik kau ucap,
”Din, telah berpulang Ayahku...”

Ah...
Betapa kerdilnya sebenarnya aku
Sebab telah nyata kupandang kau berjibaku dengan hidup
Berjalan hingga merangkak melewati tiap fragmen bahkan yang paling kusam sekalipun
Tapi tetap ada masa saat kau sapa dengan binar matamu
Lalu berkata pada langit bahwa hidupmu adalah senyum cerah
Meski mendung menggelayut menimpa

Hmm..., ada yang datang tiba-tiba
Saat diputaran kembali senandung masa lalu
Mengucap padaku tentang siapa pemenang saat kita lawan badai di perbatasan negeri
Katanya,
kaulah orangnya; Farihah !

specially for my soulmate, teman masa kecilku, sekaligus saudaraku tercinta, Syarifah Farihah Muhsana Fadhil Nasir (Hey! Aku baru sadar betapa panjang namamu, Kawan!)

Senin, 01 Februari 2010

Puisi Kosong



Ambil saja pena
Lalu ingat kembali gugurnya daun yang menubruk tanah
Katanya, ”ini aku, kembali berpulang kepadamu...”
Pada suatu siang yang dingin tanpa matahari
dan bertabuh nyanyian musim penghujan oleh orkestra alam saat hujan berdenting lembut dan angin mencipta nada-nada dalam hening

Sajakmu terlalu sulit kueja
Dalam setiap ucapan di bibir
Dan dalam malam saat diliputi sepi

Sajakmu terlalu samar kukecap
Hingga manis dan hambarnya terasa
Lewat irama senja

Saat mentari menitip puisi kosong
Hanya sebaris judul,
Tanpa larik,
Tanpa kata-kata
Yang dibaca rembulan
Saat malam ia tangkupkan.

1 Februari 2010

Minggu, 31 Januari 2010

Assalamu Alaykum, Pak Presiden!


Sebuah negeri menghampar memanjang di salah satu sisi bumi
Lautnya adalah kekayaan dengan ikan aneka warna dan terumbu karang
Langitnya adalah hamparan biru memantul-mantul pancarkan cahaya sang surya dengan teramat murah hati
Hutannya adalah deret pinus berdiri tegak menyapa langit dengan sahabat pepohonan lainnya yang mencipta harmoni dengan tiap gugur daun yang menyalami tanah
Tanahnya adalah susunan sempurna yang menumbuhkan, menjaga, mempersilakan setiap pijakan berdiri kokoh di atasnya

Sebuah negeri itu, kini ada di genggamanmu Pak!

Tapi, cobalah tengok manusianya...
Ada sekelompok anak tidur dengan perut membusung menahan perut menjerit meminta haknya
Di sudut lain orangtuanya sibuk memunguti tiap butir beras yang berjatuhan, yang bersisa di tanah
Atau sedang mengantri beberapa ribu rupiah dengan menaruhkan nyawa, terhimpit, terinjak diantara senyum sumringah bangga sang penyumbangnya
Seorang nenek didakwa karena tak tau lagi apa artinya keadilan
Sekelompok lelaki dibui sebab telah lupa untuk apa dicipta hukum dan undang-undang
Seorang ibu terpisah dari anaknya hanya karena curhat pada rekan di seberang
Rakyat kecil menangis nyeri, saksikan lapaknya dibongkar paksa seolah tak ada lagi nurani
Sementara tiap malam, ribuan manusia menyeka air mata, sebab selalu menyimpan tanya,
Apa lagi yang bisa membuatnya bertahan hidup, esoknya?
Assalamu alaykum, Pak Presiden!

Maaf jika ternyata kau memang hanyalah pemimpin di akhir jaman
Bukan seperti beliau yang memimpin ummat terbaik, namun tidur di bilik kecil, menempel di masjidnya
Menambal bajunya, dan menyiapkan tepungnya dengan tangannya

Kau juga bukan beliau yang tiap malamnya berjalan kaki mengintip hidup orang yang dipimpinnya

Kau juga bukan beliau yang menyiapkan minyak untuk sang papa yang menanti kelahiran anaknya

Kau tentunya bukan beliau yang memadamkan lampu untuk anaknya, karena lentera itu adalah milik negara

Assalamu alaykum, Pak Presiden!

Kau memang adalah pemimpin di akhir jaman
Tapi tak akan berubah takdir bahwa akan datang hari dimana harus kau bertanggung jawab atas banyak hal yang terjadi di negeri ini
Tentang lautnya, masihkan sebiru langitnya?
Tentang hutannya, masihkan hijau dari cakrawala?
Tentang tanahnya, masihkah gembur menumbuhkan?
Dan tentang manusia yang berjalan di atasnya,
Adakah mereka telah menganggapmu bersikap adil, ataukah lebih sering merasa sempit dan pilu di hati?
Assalamu alaykum, Pak Presiden!
Tetap kuharap, kantung yang menggantung di matamu adalah karena cemasmu pada bangsamu Juga cemasmu untuk dirimu
Sanggupkah kau lewati hari
Saat ditanyakan segalanya padamu
Bukan lagi di tempat dimana kebenaran adalah sejumlah rupiah yang dapat dibayarkan
Sebab tak dapat dibeli kejujuran tangan dan kaki yang kelak akan berkata
Telah kau buat apa untuk negeri kita

29 Januari 2010

sumber gambar: http://meisusilo.files.wordpress.com/2009/04/pemimpin-untuk-rakyat.jpg

Jumat, 22 Januari 2010

Sajak Permintaan Maaf


Tergugu kutatap sajakmu
Sebab lewat kata-kata itu
Terlintas betapa topeng ini terlampau tebal dipancangkan
Saat Dia dengan penuh kasihNya menutupi segala bercak-bercak hitam yang tersembunyi dalam jiwa
Dan menampakkan berkas-berkas cahaya redup yang kadang kau lihat nampak cerah

Maaf, ukhti
Jika saat bersamamu memang hanya itu yang bisa terucap
Untaian kata-kata indah yang tercomot dari otak yang hanya bisa merangkai huruf
Kadang kulirik dari kitab suci
Atau kucuri dengar dari perkataan Sang Nabi
Tapi ternyata,
Seringnya justru aku yang mengkhianati sajak itu sendiri

Maaf ukhti,
Jika saat maksiat memang tak berada kau di sini
Mungkin saat aku sendiri
Terlupa betapa tengah dilihat aku oleh Sang Maha Melihat
Telah tercatat oleh kedua sahabat karib di sisi kiri dan kanan
Namun tak nampak olehmu
Hingga binar-binar pengharapan nampak benderang dari matamu
Saat menatapku
Menatapku dengan topengku

Maaf ukhti,
Jika ternyata suatu hari telah kujerat awan-awan hitam dari langit dengan nuraniku sendiri
Kuciderai dengan lisan yang berkata kelam
Atau mengucap yang benar
Namun tak diteruskan, hanya hingga bibir saja

Maaf ukhti,
Jika bersamamu ternyata aku malu
Jika bersamamu kurasa bersalah diriku, kurasa kerdil pribadiku
Sebab kulihat
Itu amalmu
Sementara aku
Tidak sepertimu


”Saat seolah duduk di hadapan seseorang yang menyiramiku dengan ilmu, mengguncangkanku, mengingatkanku pada sajakmu tadi pagi. Meski kami tak pernah bertemu. Jazakallahu khair...”
23 Januari 2010


sumber gambar:

http://wicakz.multiply.com/photos/album/148/wicakz_photoworld_hunting_di_braga...

Kamis, 21 Januari 2010

Kata-Kata, Mari Sini Sebentar


Kata-kata, mari sini sebentar
Sulamkan dirimu menjelma sehelai sapu tangan
Resapkan tiap lelehan bening dari kedua pelupuk yang berair
Sehingga dapat kukantongi tangis
Dan kembali membuat segalanya mengembangkan seulas tawa dan memoles senyum pada bibirnya

Suatu hari,
Saat kutanggalkan pakaian perang
Dan mengucap ijin pada prajurit lainnya
Tapi, anggukan kalian, ukhti
Justru berbuah gores merah pada lembutan rasa di jiwa
Allah, jangan palingkan aku dengan episode penuh gemuruh yang semakin memperlihatkan wujudnya!

Kita telah bersama melihat sebuah pintu cahaya di penghujung sana
Melangkah pada jalan tanpa rerimbun bunga dan kupu-kupu
Tapi, telah nyata bahwa kita terpesona!

Namun, kulihat pula ada pintu paling tengah untuk memasukinya
Kugapai-gapai meski dengan nafas tersengal sebab ternyata kadang terasa sesak
Kadang tak tertahankan

Maka kata-kata,
Mari sini barang sebentar saja!
Tuntunlah jemari untuk membelai jiwanya sendiri
Untuk menyeka sedihnya pribadi
Karena dengannya aku akan terus bertahan
Hingga semuanya terlewatkan
Saat waktunya telah datang

"Mana senyumnya? Ayo, kuatkan wajah murung yang terpantul di kaca! Semuanya akan baik-baik saja, khan?"

21 Januari 2010

Selasa, 19 Januari 2010

Sebuah Mata Air, di Hatimu


Sudah sejak awal kita menikmati datangnya senja
Di sebuah sudut ruangan, di rumah Allah
Setiap Jum’at
Kita tunggu hadirnya dia yang datang dari tempat yang jauh
Habiskan masa diperjalanan untuk bertemu dengan kita, walau hanya sejenak, menghabiskan tanya di kepala-kepala yang berusaha menemukan tempatnya
Dan nuansa itulah yang memesona kita
Hingga berlanjutlah langkah kepada pertemuan-pertemuan selanjutnya
Tak peduli pada lidah yang kelu karena terbata mengeja ayat-ayat
Tak peduli pada kain kecil penutup kepala yang sesekali dihembus angin sore
Diterangi sinaran lembut dari mentari di ujung tugasnya

Ada sebuah mata air di hatimu
Saat kau sematkan namamu dengan mata air syurga itu
Sebuah kehangatan tercipta di sana
Mungkin setelah ditempa oleh panas membara, namun tak jua dapat menghanguskan,
Hingga dapat dengan tenang kau berucap,
Mengapa harus kau bertanya, tak percaya lagikah pada takdir Allah?”

Perjalanan suci kau lalui
Menuju tanah dambaan setiap hamba yang memasrahkan diri
Titip doa untuk semua harap yang hanya terhenti di ujung bibir,
Ceritamu,
Suatu hari seorang kakek tua menhadiahkan mushaf, lalu menghilang dalam satu kejapan mata
Mungkin itulah pertanda, bagimu, bagiku
Bahwa hanya dengan petunjuk itu, hidup inipun akan berlalu dengan lurus

Sebuah mata air bermula di hatimu
Mungkin kadang menjadi kering sebab memang tak ada yang mampu menjamin
Tapi ia akan tetap ada di sana
Menunggu musim berganti
Beku jelmakan hangatnya
Sendu jelmakan riangnya
Hadirkan kembali sinaran yang mengubah tangis menjadi tawa
Menyejukkan segenggam bara yang kadang sejenak ingin kita tanggalkan
Menyejukkan hatimu,
Mata air dari jannah,
Salsabila.


Untuk Kak Bet..., lunasmi nah...!
19 Januari 2010

Rabu, 06 Januari 2010

Mungkin, Lebih Baik jika Kau Tak di Sana


Aku pernah berpinta
Agar tak usah lagi jumpa dengan siapa yang tak berguna
Salain membuat lagi goresan luka baru di atas luka yang dulu ingin kau lihat

Karena itulah
Lebih baik jika kau tak di sana
Dan akhirnya tidak perlu kulihat seumur hidup
Sebab darimu aku belajar untuk tidak mengaucap kata tanpa makna
Sebab akan sakit akhirnya
Mungkin, dapat membunuh seseorang
Atau paling tidak membunuh sendiri pengucapnya

Lihatlah!
Aku telah berani menulisku
Aku telah berani menulismu
Kau yang tak pernah berpikir tentang itu

Mengapa pula harus habis tinta
Habis masa
Habis rasa
Habis kata
Habis segala yang mungkin lebih baik jika disimpan saja

Tapi kata ternyata belum habishabisnya
Sisakan aku yang hanya bisa menceracau
Ditertawakan oleh takdir

Ya, bukankah telah kau ajari untuk tak sembarangan mengucap?
Seharusnya akupun tahu untuk tak pula sembarangan berpinta
Doa yang telah beranjak dari kaki langit
Kini telah didengarNya
Mungkin sedang dikabulkanNya


6 Januari 2009

Ini puisi orang marah...
Ah, rupanya memang sama sekali tak indah!

Senin, 04 Januari 2010

Pada Akhirnya


Pada akhirnya, ukhti
Di tempat inilah kembali berpulang
Cerita tentang sebuah perjalanan panjang di jalan yang sepi
Katamu, sebab telah kupilih, maka haruslah kususuri

Perjalanan yang dimulai dengan sebuah senyuman dan berakhir dengan sedikit air mata perpisahan
Sayup-sayup kusembunyikan dari kornea hingga hanya membentuk selapis bening tak nampak di mata

Pada akhirnya, ukhti
Di sinilah lagi aku kembali
Sebab disinilah segalanya bermula
Saat cinta pertama kita ikrarkan bahkan hingga kita berharap nyawapun tercabut tetap dalam keteguhan di dalamnya

Pada sebuah malam saat kalian harus kembali membunyikan peluit kapal tanda akan segera berlayar
Dengan seorang awak baru dan harapan yang ingin disatukannya
Aku berdiri di ujung dermaga melihat dari kejauhan
Melambai tanda perpisahan sambil terus mengenang semua cerita tentang tawa dan air mata
Tentang jatuhnya kita, atau saat langkah terasa begitu gagah sebab telah terisi penuh ruhiyah

Aku berdiri di ujung dermaga menanti kapal yang lain datang
Naik ke atasnya dan menyusuri lautan sepi tempat banyak orang tenggelam dan banyak pula yang selamat
Tempat memantulnya birunya langit yang ingatkan kita pada hidup setelah kematian
Tempat terulang berbagai kisah yang diajarkan di kitab suci
Saat segerombolan fakir berlinang air matanya saat tak mampu ikut berjihad
Namun merekalah yang dibawa langsung oleh Allah menuju medan yang dijanjikan jannah

Aku memandang dari kapal yang berbeda sekarang, ukhti
Memandang sambil terus menyimpan harap
Suatu harap bahwa kita akan membuang sauh di tempat yang sama
Katamu,
Syurga namanya.



Ba’da muktamar my lovely forum...
Barakallahu fiik buat Kak Rezky, semoga dapat menjadi nakhoda yang sukses!
Buat semua akhwat yang masya Allah..., bagaimana saya bisa melupakan kenangan tiap detik bersama kalian?

Makassar, 4 Januari 2010

Jumat, 01 Januari 2010

Aku Ingin


Berdiri di bawah hujan dan menikmati rintiknya membasahi tiap jengkal kulit
Sambil menatap langit mendung yang tak tersalut oleh riuh cahaya lampu
Tapi nampak terang oleh kunang-kunang yang mengikuti arah aliran sungai bening yang mengalir di atas bumi
Juga di atas hati
Di sini, di dadaku.

Aku ingin
Menikmati rerimbun hutan
Tanpa asap-asap mengepul dari knalpot
Tapi dengan wangi melati atau segar kebun teh
Dengan kupu-kupu yang menari bersama tangkai-tangkai bunga
Sekedar menegaskan
Bahwa ia ada di sana
Karena ia sayangi
Karena ia cintai

Aku ingin
Duduk di atas bebatuan
Menikmati bau tanah dan warnanya yang menggelap
Bukan dengan gedung tinggi menjulang yang angkuh menghardik langit biru
Tapi dengan ulat-ulat di atas daun murbei
Yang menemaninya sepanjang hari
Mengatakan bahwa hidupnya ada di sana
Bahwa harinya akan berlalu bersamanya

Aku ingin
Menghirup udara segar sebagai hadiah dari dedaunan
Melihat matahari sebagai sebuah cahaya tunggal yang tak tergantikan
Dan bulan sebagai satu-satunya gemerlap di kala malam menutupkan siang.

Makassar, 1 Januari 2010