Kamis, 08 Desember 2016

Mata yang Tertutup

Saat mengusahakannya adalah kedua belah tangan yang pegal
Kadang kaki pun lelah
Nafas tersengal
Demi melihatnya terkatup perlahan atau tertutup tiba-tiba dalam buaian

Mata yang tertutup itu
Adalah saat mulutku ingin mengunyah lebih cepat
Tanganku ingin berbenah segera tuntas
Tubuhku ingin rebah barang sejenak

Tapi dalam satu titik
Kupandangi saja, menunggunya membuka kembali
Sebab jika aku beruntung kali itu
Bukan ledakan tangis yang pecah bersama terjaganya
Tapi selengkung senyum semanis gula disiram madu
Dan tatapan bening memandang kepada mataku

Anakku, menjadi shalih-lah selalu.

031016

Senin, 21 Desember 2015

F

mungkin hanya hujan dan senja
yang berada pada tepi ingatan kita
saat denyut jantungku berpadu dengan jantungmu
dan dalam ragaku terdapat pula nyawamu

lalu bahkan meski negeri yang nanti itu begitu kita rindu
namun setiap manusia selalu sampai pada titik saat ia ingin hidup lebih lama lagi
dan terkhusus untukku kini,
setidaknya hingga kau pada usia
saat telah mampu mengenang,
bahwa meski kau belum melihat dunia
namun telah ada seorang wanita yang mencintaimu dengan begitu lekat

maka teruslah berdetak, duhai kau yang hadirnya dinanti
ada sepasang insan yang tak jemu untuk menunggumu di sini

181215
#121day

Minggu, 14 Desember 2014

menulis hari

pada malam yang hening di ujung sajadah
kita kembali bertanya
adakah telah tepat langkah yang dilanjutkan?
atau seharusnya kita bepaling,
pergi,
meninggalkan.

lalu subuh datang dengan caranya sendiri
perlahan, disingkapnya tabir gelap pada setiap ufuk
berganti rerimbun biru yang dibawa oleh jingga yang merekah
pagi telah datang
dan kita memilih untuk tetap berjalan

jika nanti kita berjumpa sebab tujuan yang sama
biarkan aku bisa sepenuh yakin pada pengertianmu;
Allah yang akan selalu menjaga.
namun sebab kita tahu bahwa ada banyak jalan lain
menuju satu titik yang sama
akan kujadikan ini sebagai saat
dimana kunikmati kembali gema doa-doa
sebab tiada satu kejadian pun yang sia-sia

Makassar, 14 Desember 2014
teruntuk;  pikiran yang aku repotkan
sekali lagi kutulis puisi ini untuk mencatat hari-hari kemarin

Senin, 27 Oktober 2014

Perempuan, Rumah Rembulan



aku tahu kau mencintai cahaya lebih dari apapun
lebih dari detak jantung
dan aliran darah pada tiap jengkal pembuluhmu
kau menganyam petak-petak sinar yang tertangkap oleh mata
menjahitnya pada dadamu
dan menghentikan degupnya sesekali
suatu hari, saat seseorang memilih untuk pergi

perempuan di rumah rembulan,
menghitung jumlah pergantian bulan kepada matahari
mendongeng bintang-bintang
menitip rindu pada awan
ia bukan mengemis pada bola-bola lampu
atau pada lilin-lilin yang melelehkan dirinya sendiri
ia bersinar dengan  jiwa
yang tidak pernah memilih untuk redup begitu saja

perempuan di rumah rembulan berkata lirih;
“biarkan cinta mengeja namanya sendiri”

Kamis, 25 September 2014

lepaskan




saat hidup mengajarimu perihal menebak
warna apa yang akan kau jalin di langit yang luas
adakah telah tepat tambatan penantian
atau sauh harus kembali kau naikkan pada geladak
 
saat perjalanan menjadi tak berujung

kau menatap horison yang seolah tak tergapai
sementara kembali ke dermaga bukanlah pilihan
pecahkan kacanya dan pastikan hatimu telah siap
ia telah menunggu di sana



dan senja memintamu untuk berhenti
menikmati sejenak keseimbangan hari-hari
perihal teduh yang telah kau lupa
hanya karena menunggu lautan reda dari gemuruhnya
 


lepaskan, lepaskan, lepaskan pandangmu
jika debur ombak di lautan sudah teramat keras
mungkin memang saatnya kau memandang sekeliling
dan menemukan matahari atau hujan
untuk kau nikmati

Makassar, 26 September 2014
*break the glass, push the tab. i'm ready. i'm move on