Rabu, 30 Desember 2009

Bayang-Bayang Senja


Kali ini dia tidak datang saat malam
Tapi menyelinap diam-diam saat senja merekah di kaki langit
Hadirkan semburat jingga dan sepucuk pertanyaan tentang esok hari, apakah lagi yang akan terjadi?

Akankah tetap dinaungi oleh awan-awan putih yang menggantung-gantung, hindarkan semburat sinar panas yang menggersangkan?
Ataukah suatu hari akan kutinggalkan jalan ini sebab diri telah terlampau lelah tertatih, terjatuh, dan harus bangkit lagi?

Ada cerita tentang kau di sana
Yang mungkin akan menjadi penentu tentang hari esok yang entah bagaimana

Ada bayang-bayang senja yang datang saat kususuri jalan panjang menuju tempatku berpulang
Sambil terus berharap
Hadirnya adalah sebuah jalan
Sebuah uluran tangan yag layak bersambut
Sebuah cahaya yang menuntun
Saat terjaga segalanya hingga saatnya tiba

Hadirnya adalah sebuah jalan
Agar tetap bertahan
Agar tetap di sini.

Makassar, 30 Desember 2009


Selasa, 22 Desember 2009

Aku Suka


Aku suka

Disambut oleh pagi dengan desir angin dingin dan langit yang memang tak tampak cerah

Namun aku tetap yakin

Mentari itu masih ada di sana

Dibalik awan mendung yang menggelayut di kaki langit

Aku suka

Siang dengan hawa sejuk yang datang menerpa daun jendela

Sesekali memercik bulir bening dari sisa hujan deras di luar

Sementara atap-atap mengalirkannya dengan deras

Pun dengan jalan-jalan yang basah

Membuat terasa sejuk pada tiap telapak yang berlalu di atasnya

Aku suka

Kilat-kilat yang datang sesekali dan membuat langit malam gelap berubah layaknya siang dalam sesaat

Mungkin setelahnya akan ada guntur yang mengagetkan

Tapi cukuplah menjadi pengingat betapa kecil diri yang dapat kapan saja berakhir saat diterjang olehnya

Aku suka

Menikmati setiap percik hujan yang jatuh membasahi bumi

Mengingatkan kembali pada hari bahagia saat dipertemukannya tanah dan hujan dalam pernikahan mereka

Mengingatkan kembali tentang sebuah fragmen

Saat atap-atap bocor itu kita tampung airnya dengan gelas pelastik

Lalu kita keringkan lantainya dengan selembar kain

Lalu kita saling mendekap hangat

Memandang hujan dari sudut itu

Di sudut sebuah mushallah kecil

Beberapa masa yang lalu.

Karena hangat baru dapat terasa

setelah kita lalui dingin yang menusuk...

Saat hujan mengingatkan saya pada mushallah Al Iqra SMAGA dan semua akhwat yang pernah menebar senyuman di bawah atapnya. Miss u all!

Makassar, 20 Desember 2009

Rabu, 09 Desember 2009

Laki-Laki Pagi


Jangan lagi kau arahkan pandangmu
Atau kerlingkan matamu
Sebab hati ternyata teramat tipis
Untuk menangkah setiap detaknya yang semakin cepat
Entah oleh apa yang ia sebut rasa
Atau oleh bisikan menyesatkan yang sesaat saja

Makassar, 9 Desember 2009

Kau yang Tak Punya Apa-Apa


Nenek moyangmu bermula dari tanah liat yang kering
Letaknya pada bagian paling bawah
Terinjak-injak oleh kaki-kaki yang melangkah diatasnya

Asal mulamu dari air yang hina
Memancarnya pun atas kehendakNya
Tak menjadi apa-apa saat tak dijaga dalam dinding yang kokoh
Teramat mudah ia keluar sebelum waktunya
Teramat mudah ia terancam untuk kembali menjadi tiada

Lahirmu ke dunia adalah kesendirian sejak mulanya
Tak membawa apa-apa selain janji yang kelak tak bisa kau berpaling darinya
Serta suara tangis yang menunjukkan segala ketidakberdayaanmu tanpaNya

Lalu mengapa kau lalu berjalan di muka bumi dengan pongah
Kau tak lagi hiraukan tiap tanah yang kau tapaki adalah asalmu yang tak berpunya
Mata itu, yang kau banggakan ketajamannya adalah pinjaman
Kulit itu, yang kau pastikan kemulusannya pun bukan milikmu juga
Otak itu, yang kau pastikan kehebatannya juga dapat dengan mudah kehilangan semuanya
Lalu kau tetap berjalan dengan pongah
Tak peduli dengan setiap panggilan, sayup-sayup dari menara
Tak peduli pada setiap anjuran dari kitab suci
Tak peduli dengan semuanya sebab merasa telah berpunya!

Hey, kau yang tidak punya apa-apa!

Seperti datangmu yang tanpa sehelai benang
Kelak kembalimupun tanpa apa-apa
Mungkin hanya dengan selembar kain yang kelakpun akan termakan oleh hewan-hewan tanah
Kau kembali padanya, pada ibumu, pada bumi yang telah menunggu kembalimu
Entah seperti apa dia akan memelukmu
Apakah dengan lembut?
Ataukah dengan himpitan sebab dulu kau berjalan diatasnya dengan sesuka hatimu saja!

Hey, kau yang tak punya apa-apa!

Perhatikanlah bahwa tiap mentari terbenam
Tak pernah ia berjanji untuk kembali datang
Maka esok untukmu pun bukanlah niscaya
Lihatlah dirimu dari segala sisinya
Dan temukankan bahwa
Kau memang tak pernah punya apa-apa!

Makassar, 10 Desember 2009
Untuk semua orang yang senang berkata, ”Suka-suka gue dong!”

Sendiri


Dan jika waktu terus saja berlalu tanpa menunggu
Jenak-jenakknya menguntai tiap laku yang hanya terus menapak pada bumi saja
Lupa pada kebutuhannya di langit
Lupa pada hari dimana ditanyakanlah segala masa yang telah dieja dengan segala tingkah

Memejamkan mata di suatu hari karena dunia
Terbangunpun oleh dunia
Tertawa karena dunia
Menangis juga sebab tertinggal oleh roda-roda dunia yang tanpa sadar telah menghujam dan memekatkan ruang-ruang kalbu yang dulu sempat terisi oleh cahaya
Yang kini semakin pekat hitamnya oleh semua dosa
Dan sinarnya pun berganti kelam sebab memang mustahil mereka berkumpul pada tempat yang sama

Ia tergerus oleh waktu yang terus berlalu
Meninggalkannya sendiri tanpa pernah memberi ruang untuk merasakan kembali hening malam yang berlalu dengan tenang
Atau memaknai setiap langkah pada siang hanya untuk ibadah padaNya saja
Ia tidak lagi dapat merenungi tiap tetes hujan yang jatuh dengan caranya
Membasahi dan membersihkan tiap butir tanah yang telah lama merindukannya.

Lalu iapun memandang langit kelabu dengan setiap harap:
”Ijinkan aku nikmati hujan tanpa tergesa-gesa!”

Makassar, 10 Desember 2009