karena pintamu yang mengetuk langit, ibu
bukan tentang masa depan dengan harta
bukan juga dengan elok rupa
atau dengan cerdasnya pikiran
tapi agar hidupku adalah semburat cahaya iman
maka langkahku hari ini
setiap sinar-sinar hati yang menyemburat meski kadang dihadang pekat
tapi semuanya itu untukmu
agar aku menjadi apa yang disabdakan Rasul dengan khabarnya
seorang yang mengalirkan benderang untuk kuburmu kelak
dari sebuah doa
dari sebuah pinta
sebab tercatat untukmu sebagai amal jariyah
ini aku,
semoga telah menjadi seperti maumu
(Februari, 7 ’10)
Saya yang selalu kesulitan untuk memulai pembicaraan, kemudian menemukan puisi sebagai kawan yang begitu baik. Yang dapat menjaga rahasia dengan apik.Yang dapat dengan sabar mendengarkan, tidak menyela dengan interupsi, tanpa pernah bertanya ‘Mengapa?’ Nikmatilah! Bukankah hidup ini adalah puisi yang indah?
Sabtu, 06 Februari 2010
Menunggu;Menjaga
maka jika sajak ini tak sampai padanya...
....
....
sebuah dermaga tercipta untuk penantian
juga cerita tentang berpamitnya matahari senja pada camar-camar
seseorang juga menunggu di ujungnya
mengingat kembali bayang-bayang sambil menyongsong malam
menatap langit yang pantulkan gemerlap bintang yang beradu dengan cahaya lampu
menerpa wajahnya yang sendu
menyampaikan salam dari bait-bait doa dalam sujud dengan pinta yang tak putus putus
suatu hari, mereka akan bertemu
di salah satu sudut, banyak bibir yang mengucap cinta bersama bunga dan jumpa yang tak seharusnya
jika mereka lalui malam yang dikutuki langit kelam
maka benih yang lahir darinya kelak akan berakhir di gang-gang sempit atau kanal-kanal kotor, dibungkus plastik lusuh
kelak akan menjadi saksi bisu
hasil cinta bernama nafsu
dan jika mereka sampai pada janji suci
maka akan menguap seketika segala kata indah
sebab sejak awal memang hanya semu yang dipuja
setelah lewat masa
maka lenyap pula semua!
maka sebab itulah,
seseorang itu masih di sana
menemani dermaga menanti matahati pagi
sambil mengucap pinta untuk sebuah jumpa
ia menunggu, karena tak ingin ia beranjak, tinggalkan bingkai keanggunan yang telah ada sejak ia dicipta
ia menjaga, sebab tak banyak lagi yang peduli pada warna awan dan sebab suci seolah tak lagi punya arti
dan sebuah sajak telah tercipta, tanpa sebuah nama penerima
maka jika sajak ini tak sampai padanya
akan tetap berdengung sebuah tanya,
tentang menunggu dan menjaganya
mengapa kau tetap bertahan?
katanya,
sebab beginilah adanya
karena
aku
adalah
wanita.
(Februari, 6 ’10)
....
....
sebuah dermaga tercipta untuk penantian
juga cerita tentang berpamitnya matahari senja pada camar-camar
seseorang juga menunggu di ujungnya
mengingat kembali bayang-bayang sambil menyongsong malam
menatap langit yang pantulkan gemerlap bintang yang beradu dengan cahaya lampu
menerpa wajahnya yang sendu
menyampaikan salam dari bait-bait doa dalam sujud dengan pinta yang tak putus putus
suatu hari, mereka akan bertemu
di salah satu sudut, banyak bibir yang mengucap cinta bersama bunga dan jumpa yang tak seharusnya
jika mereka lalui malam yang dikutuki langit kelam
maka benih yang lahir darinya kelak akan berakhir di gang-gang sempit atau kanal-kanal kotor, dibungkus plastik lusuh
kelak akan menjadi saksi bisu
hasil cinta bernama nafsu
dan jika mereka sampai pada janji suci
maka akan menguap seketika segala kata indah
sebab sejak awal memang hanya semu yang dipuja
setelah lewat masa
maka lenyap pula semua!
maka sebab itulah,
seseorang itu masih di sana
menemani dermaga menanti matahati pagi
sambil mengucap pinta untuk sebuah jumpa
ia menunggu, karena tak ingin ia beranjak, tinggalkan bingkai keanggunan yang telah ada sejak ia dicipta
ia menjaga, sebab tak banyak lagi yang peduli pada warna awan dan sebab suci seolah tak lagi punya arti
dan sebuah sajak telah tercipta, tanpa sebuah nama penerima
maka jika sajak ini tak sampai padanya
akan tetap berdengung sebuah tanya,
tentang menunggu dan menjaganya
mengapa kau tetap bertahan?
katanya,
sebab beginilah adanya
karena
aku
adalah
wanita.
(Februari, 6 ’10)
Jumat, 05 Februari 2010
Al Firdaus
dikabarkan tentang langit yang bersusun
tiap lantainya adalah karunia yang tercipta bagi mereka yang kembali sebagai jiwa yang tenang
disambut dengan wangi yang berhembus sepanjang pagi dan petang
untuk mereka yang semasa hidupnya mungkin berkubang
diacuhkan dalam keterasingan
namun tetap menyunggingkan cahaya pada wajahnya
meneguhkan langkah, memilih untuk menyusurinya saja
indahnya tak tertangkap oleh mata
tempat istirahat sempurna, tempat kembalinya diri di kampung halaman abadi
sebuah tingkatan tertinggi menggelantung sempurna
bagi mereka yang merindu wajah Tuhannya
sebab dahulu, tak lelah mereka bersujud
tak lelah mereka meminta
sebab Sang Rasul telah meninggalkan pesannya
mintalah tingkatannya yang paling sempurna
paling tertinggi
surga Firdaus, namanya.
tapi malu rasanya jika ditataplah sebuah wajah di cermin
sebab beningnya memantulkan sesosok siluet kelam berlumur salah
siluet menjelma ia yang banyak khilafnya
ia yang terlampau banyak alpa
tapi tetap mendamba tingkatan paling sempurna
surga Firdaus, namanya
tapi, jangan terlampau tergesa
biar kita di sini saja
di Firdaus yang di depan mata
menyulam bekal untuk dibawa pulang
semoga dapat membawanya peroleh rahmat
untuk ditukar dengan Firdaus sejatinya
(February, 5 2010)
buat akhwat Al Firdaus...semangat dakwah bil qalam! Rinduku terbawa pada malam2 mabit itu...
tiap lantainya adalah karunia yang tercipta bagi mereka yang kembali sebagai jiwa yang tenang
disambut dengan wangi yang berhembus sepanjang pagi dan petang
untuk mereka yang semasa hidupnya mungkin berkubang
diacuhkan dalam keterasingan
namun tetap menyunggingkan cahaya pada wajahnya
meneguhkan langkah, memilih untuk menyusurinya saja
indahnya tak tertangkap oleh mata
tempat istirahat sempurna, tempat kembalinya diri di kampung halaman abadi
sebuah tingkatan tertinggi menggelantung sempurna
bagi mereka yang merindu wajah Tuhannya
sebab dahulu, tak lelah mereka bersujud
tak lelah mereka meminta
sebab Sang Rasul telah meninggalkan pesannya
mintalah tingkatannya yang paling sempurna
paling tertinggi
surga Firdaus, namanya.
tapi malu rasanya jika ditataplah sebuah wajah di cermin
sebab beningnya memantulkan sesosok siluet kelam berlumur salah
siluet menjelma ia yang banyak khilafnya
ia yang terlampau banyak alpa
tapi tetap mendamba tingkatan paling sempurna
surga Firdaus, namanya
tapi, jangan terlampau tergesa
biar kita di sini saja
di Firdaus yang di depan mata
menyulam bekal untuk dibawa pulang
semoga dapat membawanya peroleh rahmat
untuk ditukar dengan Firdaus sejatinya
(February, 5 2010)
buat akhwat Al Firdaus...semangat dakwah bil qalam! Rinduku terbawa pada malam2 mabit itu...
Kamis, 04 Februari 2010
di persimpangan jalan
ada bunga mawar yang merah
kupetik untuk bunda di rumah
alunan yang disertai kerikil
aku tak mampu untuk tetap membatu
saat senjamu datang dan kau tersenyum
katamu, kau tetap hidup
sekuntum bunga-bunga yang menyapa sinar mentari membentuk wajahmu
dan hadirnya menjelma angin yang mengalir ke paru-paru mencipta nuansa gerimis senja di salah satu ufuk
gerimis itu, mengeja kembali katamu:
”kasihku adalah sinar surya yang tak habishabis meski dirundung pekat”
dan dari sana kutengok hatiku, dan semakin yakin bahwa tak akan terbayarkan utangku padamu
ibu, sebuah syair bercerita kisahmu
segenggam sajak ucapkan kata-kata rindu
puisi-puisi berbaris memasrahkan diri dan menari di sekelilingmu
tapi kata-kata rupanya tak mampu gambarkan semua itu
sebab musim bunga di matamu adalah niscaya
bahwa keberadaanku di sana bukanlah pilihan
tapi suratan yang telah digores kalam bahkan sebelum bumi tercipta
biar saja waktu berganti
dan hari berlalu disusul masa yang lain
tapi tetap tak akan berubah, khan?
kau tetap berdiri di sana
menunjukkan pintu syurga yang paling tengah
dengan doa yang terpanjat setelah pertemuan agung dengan Allah
ibu, betapa tiap persimpangan itu,
kucoba bawakan bunga mawar itu untukmu
teruntuk : bundaku
kupetik untuk bunda di rumah
alunan yang disertai kerikil
aku tak mampu untuk tetap membatu
saat senjamu datang dan kau tersenyum
katamu, kau tetap hidup
sekuntum bunga-bunga yang menyapa sinar mentari membentuk wajahmu
dan hadirnya menjelma angin yang mengalir ke paru-paru mencipta nuansa gerimis senja di salah satu ufuk
gerimis itu, mengeja kembali katamu:
”kasihku adalah sinar surya yang tak habishabis meski dirundung pekat”
dan dari sana kutengok hatiku, dan semakin yakin bahwa tak akan terbayarkan utangku padamu
ibu, sebuah syair bercerita kisahmu
segenggam sajak ucapkan kata-kata rindu
puisi-puisi berbaris memasrahkan diri dan menari di sekelilingmu
tapi kata-kata rupanya tak mampu gambarkan semua itu
sebab musim bunga di matamu adalah niscaya
bahwa keberadaanku di sana bukanlah pilihan
tapi suratan yang telah digores kalam bahkan sebelum bumi tercipta
biar saja waktu berganti
dan hari berlalu disusul masa yang lain
tapi tetap tak akan berubah, khan?
kau tetap berdiri di sana
menunjukkan pintu syurga yang paling tengah
dengan doa yang terpanjat setelah pertemuan agung dengan Allah
ibu, betapa tiap persimpangan itu,
kucoba bawakan bunga mawar itu untukmu
teruntuk : bundaku
(pertama kali di tulis pada 30 september 2004, ditulis ulang dengan beberapa perbaikan pada 5 februari 2010)
Rabu, 03 Februari 2010
Senandung Masa Lalu
Ada yang datang tiba-tiba
Saat diputarkan kembali senandung masa lalu
Yang membawa kita pada kerlip hijau
Tak lama saat kita perkenalkan diri pada dunia
Dengan sepecah tangis dan sebuah nama
Tak banyak yang kita mengerti saat itu
Selain seputar permen dan ayunan di taman
Yang menderit manja kala disapa angin
Dan terdiam sedih saat menyambut hujan
Lalu diantarkannya kita hingga seolah begitu cepat berlalu semua
Aku dengan hidupku
Dan kau bersama takdirmu
Tapi, tak banyak yang berubah
Tentang alis tebal itu
Atau seyum lucu yang terkulum saat kita kembali bertemu
Juga tangis yang tersembunyi di matamu
Saat rembulan antarkan aku menuju jumpa kita di kelam yang sendu
Dan dengan lirik kau ucap,
”Din, telah berpulang Ayahku...”
Ah...
Betapa kerdilnya sebenarnya aku
Sebab telah nyata kupandang kau berjibaku dengan hidup
Berjalan hingga merangkak melewati tiap fragmen bahkan yang paling kusam sekalipun
Tapi tetap ada masa saat kau sapa dengan binar matamu
Lalu berkata pada langit bahwa hidupmu adalah senyum cerah
Meski mendung menggelayut menimpa
Hmm..., ada yang datang tiba-tiba
Saat diputaran kembali senandung masa lalu
Mengucap padaku tentang siapa pemenang saat kita lawan badai di perbatasan negeri
Katanya,
kaulah orangnya; Farihah !
specially for my soulmate, teman masa kecilku, sekaligus saudaraku tercinta, Syarifah Farihah Muhsana Fadhil Nasir (Hey! Aku baru sadar betapa panjang namamu, Kawan!)
Saat diputarkan kembali senandung masa lalu
Yang membawa kita pada kerlip hijau
Tak lama saat kita perkenalkan diri pada dunia
Dengan sepecah tangis dan sebuah nama
Tak banyak yang kita mengerti saat itu
Selain seputar permen dan ayunan di taman
Yang menderit manja kala disapa angin
Dan terdiam sedih saat menyambut hujan
Lalu diantarkannya kita hingga seolah begitu cepat berlalu semua
Aku dengan hidupku
Dan kau bersama takdirmu
Tapi, tak banyak yang berubah
Tentang alis tebal itu
Atau seyum lucu yang terkulum saat kita kembali bertemu
Juga tangis yang tersembunyi di matamu
Saat rembulan antarkan aku menuju jumpa kita di kelam yang sendu
Dan dengan lirik kau ucap,
”Din, telah berpulang Ayahku...”
Ah...
Betapa kerdilnya sebenarnya aku
Sebab telah nyata kupandang kau berjibaku dengan hidup
Berjalan hingga merangkak melewati tiap fragmen bahkan yang paling kusam sekalipun
Tapi tetap ada masa saat kau sapa dengan binar matamu
Lalu berkata pada langit bahwa hidupmu adalah senyum cerah
Meski mendung menggelayut menimpa
Hmm..., ada yang datang tiba-tiba
Saat diputaran kembali senandung masa lalu
Mengucap padaku tentang siapa pemenang saat kita lawan badai di perbatasan negeri
Katanya,
kaulah orangnya; Farihah !
specially for my soulmate, teman masa kecilku, sekaligus saudaraku tercinta, Syarifah Farihah Muhsana Fadhil Nasir (Hey! Aku baru sadar betapa panjang namamu, Kawan!)
Senin, 01 Februari 2010
Puisi Kosong
Ambil saja pena
Lalu ingat kembali gugurnya daun yang menubruk tanah
Katanya, ”ini aku, kembali berpulang kepadamu...”
Pada suatu siang yang dingin tanpa matahari
dan bertabuh nyanyian musim penghujan oleh orkestra alam saat hujan berdenting lembut dan angin mencipta nada-nada dalam hening
Sajakmu terlalu sulit kueja
Dalam setiap ucapan di bibir
Dan dalam malam saat diliputi sepi
Sajakmu terlalu samar kukecap
Hingga manis dan hambarnya terasa
Lewat irama senja
Saat mentari menitip puisi kosong
Hanya sebaris judul,
Tanpa larik,
Tanpa kata-kata
Yang dibaca rembulan
Saat malam ia tangkupkan.
1 Februari 2010
Lalu ingat kembali gugurnya daun yang menubruk tanah
Katanya, ”ini aku, kembali berpulang kepadamu...”
Pada suatu siang yang dingin tanpa matahari
dan bertabuh nyanyian musim penghujan oleh orkestra alam saat hujan berdenting lembut dan angin mencipta nada-nada dalam hening
Sajakmu terlalu sulit kueja
Dalam setiap ucapan di bibir
Dan dalam malam saat diliputi sepi
Sajakmu terlalu samar kukecap
Hingga manis dan hambarnya terasa
Lewat irama senja
Saat mentari menitip puisi kosong
Hanya sebaris judul,
Tanpa larik,
Tanpa kata-kata
Yang dibaca rembulan
Saat malam ia tangkupkan.
1 Februari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)