Sabtu, 06 Februari 2010

jariyah

karena pintamu yang mengetuk langit, ibu
bukan tentang masa depan dengan harta
bukan juga dengan elok rupa
atau dengan cerdasnya pikiran
tapi agar hidupku adalah semburat cahaya iman

maka langkahku hari ini
setiap sinar-sinar hati yang menyemburat meski kadang dihadang pekat
tapi semuanya itu untukmu
agar aku menjadi apa yang disabdakan Rasul dengan khabarnya
seorang yang mengalirkan benderang untuk kuburmu kelak
dari sebuah doa
dari sebuah pinta
sebab tercatat untukmu sebagai amal jariyah

ini aku,
semoga telah menjadi seperti maumu
(Februari, 7 ’10)

Menunggu;Menjaga



maka jika sajak ini tak sampai padanya...
....
....

sebuah dermaga tercipta untuk penantian
juga cerita tentang berpamitnya matahari senja pada camar-camar
seseorang juga menunggu di ujungnya
mengingat kembali bayang-bayang sambil menyongsong malam
menatap langit yang pantulkan gemerlap bintang yang beradu dengan cahaya lampu
menerpa wajahnya yang sendu
menyampaikan salam dari bait-bait doa dalam sujud dengan pinta yang tak putus putus
suatu hari, mereka akan bertemu

di salah satu sudut, banyak bibir yang mengucap cinta bersama bunga dan jumpa yang tak seharusnya
jika mereka lalui malam yang dikutuki langit kelam
maka benih yang lahir darinya kelak akan berakhir di gang-gang sempit atau kanal-kanal kotor, dibungkus plastik lusuh
kelak akan menjadi saksi bisu
hasil cinta bernama nafsu

dan jika mereka sampai pada janji suci
maka akan menguap seketika segala kata indah
sebab sejak awal memang hanya semu yang dipuja
setelah lewat masa
maka lenyap pula semua!

maka sebab itulah,
seseorang itu masih di sana
menemani dermaga menanti matahati pagi
sambil mengucap pinta untuk sebuah jumpa

ia menunggu, karena tak ingin ia beranjak, tinggalkan bingkai keanggunan yang telah ada sejak ia dicipta

ia menjaga, sebab tak banyak lagi yang peduli pada warna awan dan sebab suci seolah tak lagi punya arti

dan sebuah sajak telah tercipta, tanpa sebuah nama penerima
maka jika sajak ini tak sampai padanya
akan tetap berdengung sebuah tanya,
tentang menunggu dan menjaganya
mengapa kau tetap bertahan?
katanya,
sebab beginilah adanya
karena
aku
adalah
wanita.
(Februari, 6 ’10)


Jumat, 05 Februari 2010

Al Firdaus

dikabarkan tentang langit yang bersusun
tiap lantainya adalah karunia yang tercipta bagi mereka yang kembali sebagai jiwa yang tenang
disambut dengan wangi yang berhembus sepanjang pagi dan petang
untuk mereka yang semasa hidupnya mungkin berkubang
diacuhkan dalam keterasingan
namun tetap menyunggingkan cahaya pada wajahnya
meneguhkan langkah, memilih untuk menyusurinya saja

indahnya tak tertangkap oleh mata
tempat istirahat sempurna, tempat kembalinya diri di kampung halaman abadi
sebuah tingkatan tertinggi menggelantung sempurna
bagi mereka yang merindu wajah Tuhannya
sebab dahulu, tak lelah mereka bersujud
tak lelah mereka meminta
sebab Sang Rasul telah meninggalkan pesannya
mintalah tingkatannya yang paling sempurna
paling tertinggi
surga Firdaus, namanya.

tapi malu rasanya jika ditataplah sebuah wajah di cermin
sebab beningnya memantulkan sesosok siluet kelam berlumur salah
siluet menjelma ia yang banyak khilafnya
ia yang terlampau banyak alpa
tapi tetap mendamba tingkatan paling sempurna
surga Firdaus, namanya

tapi, jangan terlampau tergesa
biar kita di sini saja
di Firdaus yang di depan mata
menyulam bekal untuk dibawa pulang
semoga dapat membawanya peroleh rahmat
untuk ditukar dengan Firdaus sejatinya
(February, 5 2010)

buat akhwat Al Firdaus...semangat dakwah bil qalam! Rinduku terbawa pada malam2 mabit itu...

Kamis, 04 Februari 2010

di persimpangan jalan


ada bunga mawar yang merah
kupetik untuk bunda di rumah

alunan yang disertai kerikil
aku tak mampu untuk tetap membatu
saat senjamu datang dan kau tersenyum
katamu, kau tetap hidup

sekuntum bunga-bunga yang menyapa sinar mentari membentuk wajahmu
dan hadirnya menjelma angin yang mengalir ke paru-paru mencipta nuansa gerimis senja di salah satu ufuk
gerimis itu, mengeja kembali katamu:
”kasihku adalah sinar surya yang tak habishabis meski dirundung pekat”
dan dari sana kutengok hatiku, dan semakin yakin bahwa tak akan terbayarkan utangku padamu

ibu, sebuah syair bercerita kisahmu
segenggam sajak ucapkan kata-kata rindu
puisi-puisi berbaris memasrahkan diri dan menari di sekelilingmu
tapi kata-kata rupanya tak mampu gambarkan semua itu

sebab musim bunga di matamu adalah niscaya
bahwa keberadaanku di sana bukanlah pilihan
tapi suratan yang telah digores kalam bahkan sebelum bumi tercipta

biar saja waktu berganti
dan hari berlalu disusul masa yang lain
tapi tetap tak akan berubah, khan?
kau tetap berdiri di sana
menunjukkan pintu syurga yang paling tengah
dengan doa yang terpanjat setelah pertemuan agung dengan Allah

ibu, betapa tiap persimpangan itu,
kucoba bawakan bunga mawar itu untukmu
teruntuk : bundaku


(pertama kali di tulis pada 30 september 2004, ditulis ulang dengan beberapa perbaikan pada 5 februari 2010)


Rabu, 03 Februari 2010

Senandung Masa Lalu



Ada yang datang tiba-tiba
Saat diputarkan kembali senandung masa lalu
Yang membawa kita pada kerlip hijau
Tak lama saat kita perkenalkan diri pada dunia
Dengan sepecah tangis dan sebuah nama

Tak banyak yang kita mengerti saat itu
Selain seputar permen dan ayunan di taman
Yang menderit manja kala disapa angin
Dan terdiam sedih saat menyambut hujan

Lalu diantarkannya kita hingga seolah begitu cepat berlalu semua
Aku dengan hidupku
Dan kau bersama takdirmu

Tapi, tak banyak yang berubah
Tentang alis tebal itu
Atau seyum lucu yang terkulum saat kita kembali bertemu
Juga tangis yang tersembunyi di matamu
Saat rembulan antarkan aku menuju jumpa kita di kelam yang sendu
Dan dengan lirik kau ucap,
”Din, telah berpulang Ayahku...”

Ah...
Betapa kerdilnya sebenarnya aku
Sebab telah nyata kupandang kau berjibaku dengan hidup
Berjalan hingga merangkak melewati tiap fragmen bahkan yang paling kusam sekalipun
Tapi tetap ada masa saat kau sapa dengan binar matamu
Lalu berkata pada langit bahwa hidupmu adalah senyum cerah
Meski mendung menggelayut menimpa

Hmm..., ada yang datang tiba-tiba
Saat diputaran kembali senandung masa lalu
Mengucap padaku tentang siapa pemenang saat kita lawan badai di perbatasan negeri
Katanya,
kaulah orangnya; Farihah !

specially for my soulmate, teman masa kecilku, sekaligus saudaraku tercinta, Syarifah Farihah Muhsana Fadhil Nasir (Hey! Aku baru sadar betapa panjang namamu, Kawan!)

Senin, 01 Februari 2010

Puisi Kosong



Ambil saja pena
Lalu ingat kembali gugurnya daun yang menubruk tanah
Katanya, ”ini aku, kembali berpulang kepadamu...”
Pada suatu siang yang dingin tanpa matahari
dan bertabuh nyanyian musim penghujan oleh orkestra alam saat hujan berdenting lembut dan angin mencipta nada-nada dalam hening

Sajakmu terlalu sulit kueja
Dalam setiap ucapan di bibir
Dan dalam malam saat diliputi sepi

Sajakmu terlalu samar kukecap
Hingga manis dan hambarnya terasa
Lewat irama senja

Saat mentari menitip puisi kosong
Hanya sebaris judul,
Tanpa larik,
Tanpa kata-kata
Yang dibaca rembulan
Saat malam ia tangkupkan.

1 Februari 2010